(Dalam Pandangan al-Ghaza>li dan Perspektif al-Qur’a>n)
Pendahuluan
Al-Qur’a>n adalah sumber ajaran Islam. Kitab Suci itu, menempati posisi
sentral, bukan saja dalam hal perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu
keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan
umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.[1]
Pada
sisi yang lain, pandangan al-Ghazaly mengenai ilmu dengan menggunakan kaca mata
filsafat mengatakan bahwa pilar pertama
penyangga hakikat ilmu adalah aspek ontology dan yang selanjutnya adalah aspek
epistemology. Dalam kesempatan ini fokus kajian tertuju pada poin kedua, yakni
epistemology. Spesifikasinya pada sarana pencapaian ilmu dalam pandangan
al-Ghazaly.
Berawal
dari peranan al-Qur’a>n
sebagaimana tersebut di atas serta pendapat al-Ghazaly terkait sarana pencapaian
ilmu dari segi filsafat, maka pada makalah ini penulis mencoba mengulas
perspektif al-Qur’a>n terkait pandangan
al-Ghazaly mengenai sarana pencapaian ilmu, tentunya dengan harapan mengetahui
relevansi pemikiran al-Ghazaly dengan ayat-ayat yang termaktub di dalam kitab
samawi terakhir itu. Sedangkan tafsir al-Azhar yang merupakan karya
monumental Hamka serta beberapa literature karya M. Quraish Shiha>b penulis jadikan pisau pengupas mutiara di balik rangkaian indah
ayat-ayat al-Qur’a>n pada makalah
ini.
Sarana Pencapaian
Ilmu
Sebelum
berbicara mengenai masalah tersebut, terlebih dahulu perlu diperjelas
pengertian ilmu yang dimaksud dalam tulisan ini. Al-Ghazaly secara tidak
langsung mengutarakan bahwa yang dimaksud ilmu adalah mengetahui objek ilmu
sesuai realitasnya.[2]Sementara
al-Qur’a>n sendiri menggunakan kata ‘ilm dalam berbagai bentuk dan
artinya sebanyak 854 kali. Antara lain sebagai “proses pencapaian pengetahuan
dan obyek pengetahuan” (QS 2:31-32).[3]
Dalam pencapaian ilmu, Al-Ghazaly
mengenal tiga sarana pokok yaitu pancaindra (al-hawa>s al-khams) berikut common sense (khayal)[4]
dan estimasi (wahm), akal, dan intuisi (zauq).
Pancaindra
bekerja di dunianya, dunia fisis-sensual, dan berhenti pada batas kawasan akal.
Akal bekerja di kawasan abstrak dengan memanfaatkan input dari pancaindra
melalui khayal dan wahm, dan berhenti pada kawasan transendental
(tak terjangkau akal). Sedang informasi kewahyuan yang menurut akal irasional
harus di-takwi>l,
jika terbukti secara pasti bahwa ia datang dari nabi yang sejati.
Untuk
lebih jelasnya, berikut bahasan mengenai ketiga sarana pencapaian ilmu
tersebut:
Pancaindra
Al-Ghazaly
menyatakan bahwa pancaindra merupakan satu dari beberapa sarana pencapaian ilmu,
karena pancaindra merupakan sarana penangkap yang pertama muncul dalam diri
manusia, disusul dengan daya khayal yang menyusun aneka bentuk susunan,
dari partikular-partikular yang ditangkap indra, kemudian tamyi>z (daya pembeda) yang menangkap sesuatu di atas alam empirik
sensual, di sekitar usia 7 tahun, baru disusul dengan akal yang menangkap
hukum-hukum akal dan hal-hal lain yang tidak ada pada fase-fase sebelumnya. Di
sini indra penglihat merupakan indra yang paling dominan diantara indra-indra
yang lain.
Indra penglihat bukan tanpa celah
kekurangan jika dibandingkan dengan sarana pencapain ilmu yang kedua yakni
akal, sebagai tamthi>l indra penglihat
tidak dapat melihat dirinya sendiri sedangkan akal mampu melihat dirinya
ataupun yang lain, indra penglihat hanya mampu melihat sebagaian yang ada,
tetapi tidak mampu menjangkau obyek akal seperti gembira, sedih, sedang bagi
akal semua yang ada itu merupakan bagian dari wilayahnya, selanjutnya indra
penglihat tidak dapat menangkap apa yang berada di balik tabir, bagi akal itu
merupakan hal yang mudah bahkan ia mampu beroperasi hingga ke ‘arsy.
Dengan adanya kekurangan itu bukan
berarti menafikan hasil kinerja pancaindra yang begitu urgen bagi akal,
buktinya akal hanya dapat mengetahui dunia fisis-sensual melalui pancaindra
yang meneruskan laporannya kepada common sense dan estimasi sampai pada akal,
artinya tanpa bantuan pancaindra akal tidak dapat mengetahui apa-apa tentang
dunia fisis-sensual.
Dalam pandangan al-Ghazaly pancaindra
merupakan salah satu sarana pencapaian ilmu yang bersifat daru>riyya>t (yang kebenarannya mutlak dan tidak dapat ditolak). Tetapi diakui
atau tidak bahwa al-Ghazaly sendiri juga pernah meragukan hal-hal yang bersifat
aksiomatis seperti kemampuan indra untuk menangkap pesan, sebagaimana tertulis
dalam salah satu karya atau terkadang juga dikatakan sebagai otobiografinya, al-Munqi>dh min al-Dhala>l.
Al-Qur’a>n sendiri secara ekplisit merekomendasikan pancaindra sebagai salah
satu sarana dalam memperoleh pengetahuan (ilmu dalam arti pengetahuan)[5]sebagaimana
tersebut dalam surat al-Nahl 78:
78. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
Ayat tersebut jika kita hubungkan
dengan argument al-Ghazaly di awal yang menyatakan bahwa pancaindra merupakan
sarana penangkap yang pertama kali muncul, maka dapat penulis ambil korelasinya
bahwa al-Ghazaly memandang manusia selayaknya kertas kosong yang belum
tersentuh oleh ujung pena sebelum menggunakan pancaindranya. Sebab dengan pancaindra
itulah nantinya informasi yang didapat akan diproses dengan daya khaya>l kemudian dengan tamyi>z (pembeda) dan
seterusnya sampai terwujud suatu pengetahuan.
Dengan menggunakan mafhu>m muha>lafah
dari ayat di atas, berikut penulis hadirkan ayat al-Qur’a>n yang bernada ancaman (sebagai bentuk ketidak-setujuan al-Qur’an)
terhadap segolongan manusia yang tidak menggunakan pancaindranya untuk mencari
pengetahun, bahkan derajat kita digambarkan lebih rendah dibandingkan dengan
binatang ternak. Q.S. al-A’raf 179:
ôs
179. Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi
neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
Dari ayat itu sebenarnya mengandung anjuran
yang tegas, pergunakan hati buat memperhatikan, mata buat melihat, dan telinga
buat mendengar, sehingga berakhir dengan kenal kepada Allah (ma’rifat), dan itulah ilmu.[6]
Akal
Menurut
al-Ghazaly, terma “’aql” (akal) biasa dipakai untuk empat arti. (a) Gazirah
(insting), yang dengannya manusia siap menangkap ilmu-ilmu a priori
dan ilmu-ilmu inferensial yang dihasilkan dari eksperimen. (b) Ilmu-ilmu
yang muncul secara aktual pada anak mumayyiz, yaitu hukum-hukum akal
yang termasuk ilmu-ilmu a priori. (c) Ilmu-ilmu
yang diperoleh dari eksperimen mengenai ihwal sesuatu, dan (d)
Keberhasilan gazirah itu dalam mengetahui akibat segala sesuatu dan
mengendalikan naluri syahwat secara proporsional. Yang pertama, pilihan
al-Ghazaly, menunjuk potensi sebagai asas dan sumber, yang kedua menunjuk
cabang terdekat, yang ketiga menunjuk cabang dari yang pertama dan kedua, sebab
dengan gazirah itulah, ilmu-ilmu a priori dan inferensial
diperoleh, sedang yang keempat menunjuk buah.
Diri manusia sebagai
ibarat kerajaan, qalbu adalah pusat (istana), sedang akal adalah rajanya, yang
semua potensi lahir dan batin adalah aparatnya, dan semua organ tubuh adalah
rakyatnya. Begitu kira-kira gambaran posisi akal pada diri manusia dalam
pandangan al-Ghazaly. Ini sesuai realitas bahwa meskipun dalam qalbu terkumpul
empat unsur sifat, yaitu ketuhanan pada akal ibarat hakim budiman, kehewanan
pada syahwat ibarat babi, kebinatangan-buasan pada pada gadab ibarat
anjing, dan kesetanan pembuat makar dan kejahatan, tetapi ciri khas kemanusiaan
adalah ilmu dan ikhtiar pada akal. Dengan demikian, akal menduduki posisi
sentral dan merupakan inti hakikat manusia yang membedakannya dari hewan dan
setan.[7]Karena
itu, al-Ghazaly kadang mengidentikkan akal dengan qalbu dalam arti metafisis,
sebagai inti hakikat manusia.[8]
Al-Ghazaly
memberikan penghargaan yang tinggi dan perhatian khusus terhadap akal sampai
akhir hayatnya. Sebagai bukti, dalam ihya>’, al-Ghazaly
menyediakan satu bab khusus untuk membicarakan kemuliaan akal, esensi, dan
macam-macamnya, serta fungsi dan kapabilitasnya. Dia begitu yakin bahwa potensi
akal cukup kapabel untuk menangkap bukan saja yang terbatas, tetapi juga yang
tak terbatas. Akal sebagai “cermin” yang dapat menangkap
obyek sebagaimana realitasnya, adalah bersih dari kesalahan. Kalaupun pemikiran
seseorang salah, kesalahan bukan terletak pada akal, tapi karena ia dikuasai khaya>l
dan wahm.
Dengan
akal dan logika, al-Ghazaly memang bisa menemukan Tuhan, dengan teori kosmologi
seperti dalam al-iqtis}a>d. Meskipun dalam al-munqi>dh, ia mengaku bahwa keimanannya kepada Allah, Rasul, dan Hari Akhir
secara global sebagai pangkal bukan berdasarkan argumen tertentu, tapi oleh
sebab-sebab yang kompleks sepanjang proses pencarian kebenaran.
Pada
sisi lain, kata ‘aql (akal) tidak ditemukan dalam al-Qur’a>n, yang ada adalah bentuk kata kerja masa kini, dan lampau.[9] Kata
tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali pengikat, penghalang.
Al-Qur’a>n dalam menggunakan akar kata ‘aql mengandung tiga makna
sebagaimana berikut:
a.
Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, seperti firman-Nya
dalam Q.S. Al-Ankabut 43:
ù
43. Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat
untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.
Daya manusia dalam hal ini
berbeda-beda. Ini diisyaratkan Al-Qur’a>n antara lain dalam ayat-ayat yang berbicara tentang kejadian langit
dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, dan lain-lain. Ada yang dinyatakan
sebagai bukti-bukti keesaan Allah swt. bagi “orang-orang yang berakal”
(Q.S. Al-Baqarah 164), dan ada juga bagi Ulil Alba>b yang juga
dengan makna sama, tetapi mengandung pengertian lebih tajam dari sekedar
memiliki pengetahuan.
b.
Dorongan
mental, seperti firman-Nya:
151. Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang
diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu
dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki
kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan
yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya).
c. Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan
serta “hikmah”
Untuk maksud ini biasanya digunakan
kata rusyd. Daya ini menggabungkan kedua daya di atas, sehingga ia
mengandung daya memahami, daya menganalisis, dan menyimpulkan serta dorongan
moral yang disertai dengan kematangan berfikir. Sebagaimana dalam Q.S. Al-Mulk
10:
10. Dan mereka berkata: "Sekiranya kami
mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala".
Dari
akar kata ‘aql yang digunakan dalam al-Qur’a>n beserta variasi maknanya, pandangan al-Ghazaly mengenai akal
sebagai sarana pencapaian ilmu nampaknya lebih sesuai pada makna “daya untuk memahami dan menggambarkan
sesuatu, mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah.” Dari ketiga ayat
tersebut di atas, al-Qur’an mengindikasikan baik secara eksplisit maupun
implisit bahwa dengan akal manusia akan dapat memperoleh pengetahuan, dengan
memahami, menganalisis, menyimpulkan serta dorongan moral yang disertai dengan
kematangan berfikir.
Intuisi (Zauq
atau wijdan)
Al-Ghazaly tidak menyebut terma “zauq”,
“wijdan” dan yang sepertinya sebagai potensi tersendiri, kecuali di
beberapa tempat. Dalam Misyka>t,
misalnya, ia menjelaskan adanya lima macam ruh manusia yang semuanya merupakan
cahaya untuk melihat objek tetapi derajatnya gradual, yaitu: ru>h hisa>s, ru>h khaya>l, ru>h aqli, ru>h
fikri,dan ru>h qudsi nabawi. Ruh terakhir, yang disebut pula “zauq
khas nabawi” (intuisi khusus kenabian) atau “wijdan”
(intuisi), hanya dimiliki para nabi dan wali, yang dengannya, dunia metafisis
yang transenden terlihat jelas. Menurut al-Ghazaly, kelima ruh ini dalam al-Qur’a>n dimisalkan sebagai berikut: ru>h hisa>s
dengan misyka>t (tempat
pelita), ru>h khaya>l dengan zuja>jah
(kaca), ru>h aqli
dengan sira>j muni>r (pelita yang menara), ru>h fikri dengan syajarah muba>rakah (pohon yang diberkati), dan ru>h qudsi nabawi merupakan pemikiran yang genius, ibarat
pohon yang “hampir saja minyaknya menyala sekalipun tanpa disentuh api, sebab
pada wali, cahayanya hampir saja menyala sendiri sehingga hampir tidak
membutuhkan bantuan para nabi, dan diantara nabi, hampir saja tidak membutuhkan
bantuan malaikat. (al-Ghazaly, misyka>t, hlm. 106-116).
Yang dimaksud al-Ghazaly adalah adanya potensi atau sarana lain di
atas akal dalam arti pikiran, yang dapat menjangkau apa yang tak terjangkau
akal. Ringkasnya, bahwa adanya objek transendental serta sarana dan proses yang
dapat menjangkaunya, yaitu zauq atau wijdan yang dapat menerima
wahyu pada nabi dan ilham pada wali, merupakan kemungkinan rasional.
Ilham sendiri adalah
peringatan jiwa universal kepada jiwa parsial manusiawi berdasarkan kadar
kejernihan, penerimaan, dan kekuatan kesiapannya. Ilham adalah
kelanjutan wahyu. Sebab, wahyu menjelaskan perkara gaib, sementara ilham
merincinya. Ilmu yang diperoleh dari pengilhaman dinamakan dinamakan ilmu ladunni,
yaitu ilmu yang didalam memperolehnya, tidak ada perantara - yang menghubungkan
– antara jiwa dan pencipta.[10]
Diantara
114 surat yang terdapat dalam al-Qur’a>n, sebagian di dalamnya mengandung ayat-ayat yang menjelaskan adanya
pengajaran yang diberikan langsung oleh Allah kepada hambanya. Seperti terdapat
pada surat al-Kahfi ayat 65:
65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di
antara hamba-hamba kami, yang Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi
kami, dan yang Telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.[11]
Pada
surat An-Nisa’ ayat 113 juga tersebut mengenai pengajaran Allah kepada Nabi
Muhammad saw:
113. Dan (juga
karena) Allah Telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan Telah mengajarkan
kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar
atasmu.
Pemerolehan
ilmu dengan intuisi, tidaklah dapat diperoleh sembarangan orang. Apabila jiwa
seseorang telah dipersucikan (tazkiyah) daripada pengaruh hawanafsu dan
keinginan jahat, sampai bersih murni laksana kaca, maka timbullah nu>r dalam dirinya
dan menerima dia akan nu>r
dari luar; itulah yang disebut nu>run ‘ala nu>rin!
Maka bertambah dekatlah jaraknya dengan Allah dan jadilah dia orang yang muqarrabi>n. Kalau telah sampai pada maqa>m yang demikian, mudahlah dia menerima langsung ilmu dari Ilahi, baik
berupa wahyu serupa yang diterima Nabi dan Rasul, atau berupa ilham yang
tertinggi martabatnya, yang diterima oleh orang yang S}ali>h}.[12]
Sementara
di sisi lain, mengenai gambaran al-Ghazaly terkait kelima ruh sebagaimana
disebutkan di atas, yakni ru>h hisa>s, ru>h khaya>l, ru>h
aqli, ru>h fikri,dan ru>h qudsi
nabawi tepatnya terdapat pada surat An-Nur ayat 35:
35. Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan
bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang
di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu
seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan
minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di
sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya),[13] yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada
cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Mengenai
ilham, penulis hanya menemukan satu ayat yang membicarakannya, tepatnya
yang termaktub pada surat Al-Syams ayat 8:
8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Tetapi ayat ini menurut pandangan Hamka tidak
dikhususkan bagi para wali, melainkan diberilah setiap diri itu Ilham
oleh Tuhan.[14]
Artinya bahwa setiap orang diberi akal buat menimbang, diberikan kesanggupan
menerima Ilham dan petunjuk. Semua orang diberitahu mana yang membawa
celaka dan mana yang akan selamat. Itulah tanda cinta Allah kepada hambanya. Di
surat al-Bala>d pada ayat 10 dikatakan juga:
10. Dan kami Telah
menunjukkan kepadanya dua jalan,[15]
Sebagaimana
telah teruraikan di atas itulah pandangan al-Ghazaly mengenai sarana pencapaian
ilmu serta sekilas perspektif al-Qur’a>n yang boleh jadi dapat menggambarkan adanya relevansi antara
pandangan al-Ghazaly dengan al-Qur’a>n.
Kesimpulan
Dari tulisan di atas, dapat
disimpulkan bahwa ketiga sarana yang direkomendasikan al-Ghazaly merupakan
sebuah sintetik-integralistik yang mengombinasikan empirisme dengan
rasionalisme dan intuisionisme, dengan cara menempatkan ketiga sarana
pencapaian ilmu, yaitu pancaindra, akal, dan intuisi, pada proporsinya
masing-masing. Selain itu konsep yang diajukan al-Ghazaly tersebut menurut
hemat penulis sejalan dengan al-Qur’a>n. Sebagaimana penulis cantumkan ayat-ayat yang bermotif sama dengan
pemikiran hujja>t al-Isla>m itu. Berawal dari adanya relevansi antara pandangan al-Ghazaly
dengan al-Qur’a>n mengenai
sarana pencapaian ilmu, penulis mengamini pandangan tersebut serta mengimani
apa yang digagas oleh al-Qur’a>n.
Daftar
Pustaka
Al-Qur’a>n dan
Terjemahnya. Departemen Agama, 1992.
Anwar, Saeful. Filsafat
Ilmu Al-Ghazaly. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Ghazaly, Abu Hami>d Al.
Al-munqi>dz Min
al-Dhala>l.
Surabaya: Pustaka Progresif, 2001.
Ghazaly, Abu Hami>d Al.
Risalah-Risalah Al-Ghazaly. Bandung: Pustaka
Hidayah, 1997.
Hamka, Tafsi>r al-Azhar
juzu’ IX. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Hamka, Tafsi>r al-Azhar
juzu’ XV. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Hamka, Tafsi>r al-Azhar
juzu’ XXX. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Ilyas, Yunahar dan Azha>r Muhammad. Pendidikan Dalam Perspektif al-Qur’a>n.
Yogyakarta: LPPI, 1999.
Rowi, M. Roem. Al-Qur’a>n, Manusia
& Moralitas, Sidoarjo: Amanah Jaya, 1997.
Shiha>b, M. Quraish. Membumikan
al-Qur’a>n,
Bandung: Mizan, 1992.
Shiha>b, M. Quraish.
Wawasan al-Qur’a>n,
Yogyakarta: Mizan, 1998.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. Filsafat Ilmu:
Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2003.
[1] M. Quraish Shiha>b, Membumikan Al-Qur’a>n (Bandung:
Penerbit Mizan, 1992) hlm 83. Lebih lanjut periksa pada Prof. Dr. Hasan Hanafi,
Al-Yami>n wa Al-Yasa>r Fi> Al-Fikr Al-Di>ni>y, Madbuliy,
Mesir 1989, hlm 77.
[2] Saeful Anwar, Filsafat
Ilmu Al-Ghazaly (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 91. Lihat
lebih lanjut al-Juwaini, Kitab al-Irsya>d, hlm.12-13).
[3] M. Quraish Shiha>b,………62.
[4] Common sense
(pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan
istilah common sense, dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang
memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik. Semua orang menyebutnya
sesuatu itu merah karena memang itu merah, benda itu panas karena memang
dirasakan panas dan sebaginya.
[5] Tim Dosen
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar Pengembangan
Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003) hlm 22.
[6] Hamka, Tafsir
al-Azhar juzu’ IX (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983)
hlm 171.
[7] Saeful Anwar, Filsafat
Ilmu Al-Ghazaly (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 186. Lihat
lebih lanjut pada al-Ghazaly, ihya>’
jld. III, hlm. 7-11.
[8] Ibid,
jld. III, hlm. 3-4.
[9] Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur’a>n, (Yogyakarta:
Mizan, 1998) hlm 294.
[10] Al-Ghazaly, Risalah-Risalah
Al-Ghazaly (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997) hlm 114.
[11] Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah Khidhr, dan yang dimaksud
dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. sedang yang dimaksud dengan
ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib seperti yang akan diterangkan dengan
ayat-ayat berikut.
[12] Hamka, Tafsir
al-Azhar juzu’ XV (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983)
232.
[13] Maksudnya: pohon zaitun itu tumbuh di puncak bukit ia dapat sinar
matahari baik di waktu matahari terbit maupun di waktu matahari akan terbenam,
sehingga pohonnya subur dan buahnya menghasilkan minyak yang baik.
[14] Hamka, Tafsir
al-Azhar juzu’ XXX (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983), 169-170.
[15] yang dimaksud dengan dua jalan ialah
jalan kebajikan dan jalan kejahatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar