Peta Timur Tengah
Saya tidak sedang berusaha untuk memaparkan sejarah
dinasti Fatimiyah dan Mamluk di Mesir secara umum. Tapi, saya akan memaparkan
masing-masing periode dan kemudian menandai aspek-aspek tertentu untuk
memberikan ilustrasi mengenai ketidakmungkinan penyatuan antara agama dan
negara. Saya mengatakan demikian bukan karena klaim penyatuan itu tidak pernah
ada pada masa lalu karena dinasti Fatimiyah jelas-jelas menyatakan bahwa mereka
memiliki hak dari Tuhan untuk berkuasa. Namun, jika pun demikian, tidak berarti
bahwa klaim itu serta merta menjadi sah atau realistis. Hal yang penting untuk
kita catat adalah bahwa klaim seperti itu tidak hanya gagal dalam tingkat
praksis, tetapi juga tidak mungkin berhasil karena adanya perbedaan fundamental
antara otoritas agama dan negara. Saya harap diskusi kita mengenai Imam-imam
Syi'ah Ismailiyah pada bagian awal bab ini (bagian yang membahas dinasti
Fatimiyah) bisa menegaskan hal yang saya sebut tadi. Bahaya negara yang
berusaha untuk memaksakan otoritas keagamaan, walaupun tidak membuat klaim
eksplisit tentang itu, bisa menjadi lebih jelas dalam diskusi kita tentang
dinasti Mamluk berikut ini.
Selayang Pandang tentang Dinasti Fatimiyah
di Mesir
Dinasti Fatimiyah didirikan pertama kali pada tahun 909
di Afrika Utara (Tunisia sekarang) oleh Ubaidillah yang dianggap sebagai Imam
Mahdi oleh pengikut Syi'ah Ismailiyah. Periode dinasti Fatimiyah di Mesir mulai
ketika Jauhar, komandan pasukan al-Mu'izz (Imam Syi'ah Dinasti Fatimiyah untuk
periode 953-975) menaklukkan negeri itu dan memasuki ibukotanya Fustat pada
tahun 969. al-Mu'izz sendiri baru memasuki Mesir 4 tahun berikutnya. Al-Aziz
bin al-Mu'izz memerintah dari tahun 975 sampai tahun 996, yang kemudian diikuti
oleh al-Hakim yang berkuasa selama 25 tahun (996-1021). Setelah al-Hakim
dianggap menghilang, atau menurut riwayat lain dibunuh oleh atas perintah
saudara perempuannya, Sitt al-Mulk,
anaknya al-Zahir menggantikannya dan memerintah selama 15 tahun berikutnya
(1021-1036). Masa pemerintahan al-Mustansir yang cukup panjang (1036-1094)
menyaksikan pecahnya perang sipil yang berakhir dengan berkuasanya militer
dalam pemerintahan. Sejak saat itu, usaha-usaha yang dilakukan oleh para wazir,
hakim, komandan militer, dan gubernur adalah untuk meluaskan kekuasaan mereka
melebihi kekuasaan kekhalifahan Fatimiyah sendiri. 75 tahun berikutnya kita
menyaksikan munculnya 6 imam yang berbeda, yang otoritasnya terus berkurang di
tengah-tengah perpecahan sekte, kup militer dan disintegrasi. Dinasti Fatimiyah
berakhir ketika Saladin, Komandan pasukan Bani Ayyub, menduduki kementrian dinasti
Fatimiyah dan mengumumkan kesetiaannya kepada Khalifah Abbasiyah di Baghdad
pada tahun 1171.
Pencitraan diri dinasti Fatimiyah sebagai kekhalifahan
dan institusi imamah yang sah merupakan tanda untuk menegaskan keberlanjutan
otoritas politik dan spiritual yang dimiliki Nabi karena baik syi'ah Imamiyah
maupun syi'ah Ismailiyah mengidentifikasi bahwa kepala negara yang sah adalah
wakil Tuhan di muka bumi."[1] Kualitas yang harus dicapai seorang imam agar bisa
dianggap memiliki otoritas ketuhanan tidak bisa dianggap remeh. Seorang Imam
harus menjadi a'immat al-huda, imam
keadilan yang bisa menjauhkan ummat dari siksaan", "suar kebenaran
dan pedoman… yang bersinar seperti matahari dan bercahaya seperti bintang, dan
menjadi pilar agama, rizki dan kehidupan manusia."[2] Bagi orang awam,
imam adalah sosok yang sempurna dalam pelaksanaan shalat, zakat, puasa, ibadah
haji dan jihad, mendapatkan bagian lebih dari ghanimah dan zakat, dan
memutuskan pelaksanaan hudud…pendek kata, ia lebih dari siapapun kecuali
Nabi."[3] Karena imam juga dianggap mendapatkan posisi istimewa
dalam bidang keilmuan, maka seorang imam juga dituntut untuk menjadi penjaga
ilmu-ilmu keagamaan. Status ma'shumnya menjamin ummat Islam untuk selalu
mendapatkan bimbingan dari penguasa yang sangat adil dan sempurna. Imam juga
harus mempunyai kualitas mufahham artinya
ia bisa dipahami oleh Tuhan, seperti Sulaiman yang dideskripsikan dalam
al-Qur'an.[4]
Namun dalam praktiknya, upaya mewujudkan model
kepemimpinan rasul itu tidak terreflesksikan dalam sikap Imam-Imam Dinasti
Fatimiyah cenderung menunjukkan sikap materialitik di ruang publik. Mulai tahun 990 M, penguasa
selanjutnya yaitu, Khalifah al-Aziz, mengimplementasikan prosesi festival
ibadah (biasanya idul fitri) dimana khalifah berkeliling dengan pasukannya
dengan memakai pakaian berornamen brokat dan dilengkapi dengan pedang dan sabuk
emas. Para sedadu yang menunggangi gajah dan mengangkat senjata berbaris di
hadapannya. Khalifah sendiri berpawai dengan memakai tenda yang dihiasi
mutiara.”[5] Citra kemakmuran dan kekuasaan yang diperlihatkan di
hadapan publik yang kelaparan nampaknya memang digunakan untuk menegakkan
otoritas keagamaan khalifah.
Sebagai contoh, dalam prosesi idul fitri, khalifah, para
pejabat tinggi dan hakim yang berpakaian mewah layaknya sedang melakukan
peragaan busana, keluar dari istana ke lapangan dimana shalat idul fitri yang
diikuti oleh khalayak ramai diselenggarakan. Sepanjang prosesi, takbir tak
henti dikumandangkan hingga sang Khalifah memasuki tempat shalat. Sebagaimana pengamatan
para sejarawan saat itu, karena panggilan untuk melaksanakan shalat id tidak
membutuhkan adzan, tapi cukup dengan takbir, “maka dapat kita katakan bahwa
pelaksanaan shalat id dimulai sejak datangnya khalifah dan bahkan prosesi
kedatangan khalifah pun menjadi bagian dari perayaan shalat id.”[6] Qadi al-Nu’manlah yang pertama kali membuat Muslim
mengasosiasikan pertunjukkan ini sebagai bagian dari doktrin syi,ah Ismailiyah
karena ia mengklaim adanya hubungan yang
mendalam antara shalat jum’at, idul fitri, idul adha dan peran imam dalam
seluruh missi Islam. Bisa saja kita menganggap klaim seperti itu hanya terjadi
pada Syi’ah Ismailiyah atau Syi’ah Fatimiyah dan konteks historisnya. Namun
seperti yang akan saya tekankan nanti, ciri-ciri seperti itu ada dalam setiap
usaha mengkombinasikan otoritas politik dan agama. Apapun sebutannya: imam,
khalifah ataupun presiden, penguasa yang mendasarkan otoritas politiknya pada
klaim keagamaan akan selalu mencari cara untuk mengasosiasikan kekuasaan mereka
dengan otoritas Islam yang suci.
Aspek lain yang membuat asosiasi seperti ini berbahaya
adalah karena asosiasi semacam itu mengharuskan penguasa untuk mengakumulasi
kekayaan dengan menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan patronase politik
atau untuk tujuan-tujuan lainnya. Dalam kasus Dinasti Fatimiah, sumber-sumber
keuangan dinasti ini didapat dari hampir toko-toko yang disewakan bulanan di
Kairo, tempat mandi, gedung pernikahan, kebun buah-buahan, lebih dari 8.000
bangunan, tanah pedesaan dan lain sebagainya. Sumber-sumber itu, tentu saja,
hanya merupakan bagian dari perdagangan milik pribadi imam yang meliputi
seluruh pelabuhan dan armada laut.[7] Sebagai penentu
semua urusan negara, “Imam Fatimiyah juga bertanggung jawab terhadap
perlengkapan dan peralatan tentara.”[8] Tanggung jawab
ini tidak sejalan dengan posisi Imam sebagai pemimpin spiritual karena sistem
militer yang mempekerjakan budak pada saat itu membutuhkan dana yang sedikit
lebih tinggi daripada biaya untuk mendapatkan perbekalan dan pembayaran honor
tentara bayaran.[9] Selain membayar tentara, imam juga nampaknya harus
membayar gaji pegawai negara.[10] Namun, justru
penyatuan fungsi penguasa militer dengan simbol keagamaan yang tertinggi dalam
negara inilah yang harus kita perhatikan sebagai bahan pertimbangan untuk
melihat karakter opresif sebuah rezim militer. Permusuhan antara kelompok
militer yang beranggotakan budak pecah menjadi peristiwa penuh kekerasan karena
adanya ketegangan rasial dam perlakuan negara yang diskriminatif dan diperparah
oleh terlibatnya masyarakat umum.[11]
Sekedar penjelasan singkat, institusi-institusi peradilan
dinasti Fatimiyah terdiri dari pengadilan umum(qada), pengadilan privat (mazalim), pengadilan publik (hisbah), dan polisi (shurta).* Semua institusi
ini berada di bawah pengawasan Hakim Agung (qadi
al-qudat). Hakim agung dinasti Fatimiyah bertanggung jawab atas seluruh
lembaga-lembaga yang sama di seluruh provinsi, walaupun berada di bawah
kebijaksaan khalifah. Namun ada beberapa daerah yang dikuasai oleh kekuatan
politik lain seperti Palestina yang saat itu berada di bawah kekuasaan al-namun
tidak berada di bawah pengawasan Hakim Agung Abi al-Awwam yang bermazhab
Hanbali. Tentara juga tidak harus tunduk kepada Hakim Agung, tetapi mereka
menjadi pelindung yurisdiksi mazalim,
jika dianggap akuntabel.[12] “Tanggung jawab hakim agung juga bisa diperluas sampai
ke persoalan agama seperti menjadi imam shalat, pengurusan masjid dan jenazah,
dan juga tanggung jawab lain seperti mengepalai kantor percetakan uang (dar al-darb), mengawasi standar
timbangan (mi'yar), dan mengurusi
baitul mal.”[13] Penyatuan peran peradilan dan tanggung jawab keuangan
ini memberikan kesempatan kepada aparatur negara untuk menyalahgunakan
kekuasaan. Otoritas yang dimiliki mazalim
memperlihatkan hak pregoratif khalifah untuk menginvestigasi
pengaduan-pengaduan individual tentang ketidakadilan, kekeliruan administratif
yang dilakukan oleh pejabat negara dan menyelesaikan keluhan-keluhan seperti
itu tanpa harus mengikuti prosedur yang biasa berlaku. Perwakilan dari seluruh
departemen hadir pada saat pengadilan mazalim, yang juga menjadi tempat yang
tepat untuk menyortir dan mendistribusikan keluhan kepada pejabat negara
terkait.[14]
Kepala polisi, sahib
al-shurta, diharapkan untuk memperlakukan orang secara setara, menjaga
hak-hak korban ketidakadilan, mengeksekusi hukuman yang ditetapkan, dan
menghadirkan pihak-pihak yang terkait dengan kasus ke hadapan hakim jika
diperlukan. Ia memegang fungsi-fungsi jaksa, pengintegorasi, algojo (pelaksana
hukuman) dan pengelola penjara.[15] Meskipun kepala polisi seharusnya ada di bawah kendali
Hakim Agung, sebetulnya ada ketegangan yang cukup besar antara pejabat negara
yang berada di dua departemen yang berbeda itu menyangkut batas-batas otoritas
mereka dalam penyelenggaraan hukuman hudud.[16]
Insitusi kenegaraan lain yang terdapat pada masa Dinasti
Fatimiah adalah al-muhtasib.
Institusi ini muncul pada masa Dinasti Fatimiah di Mesir dan terus berkembang
di bagian negara lain. Terlepas dari perbedaan pendapat yang menyatakan bahwa
institusi ini berasal dan berkembang dari masa pra-Islam, jelas bahwa peran al-muhtasib (orang yang mengeksekusi
aturan hisbah) telah mapan pada akhir abad ke 4 sebagai satu-satunya lembaga
sensor, pengawas pasar, dan juga penjaga moral publik berdasarkan aturan amar
ma’ruf nahyi munkar.[17] Seorang pelaksana hukum hisbah menjadi figur sentral di
mata publik karena ia memegang otoritas yang sangat besar baik sebagai pegawai
pemerintahan maupun sebagai otoritas keagamaan yang bertugas menjaga
kepentingan dan moralitas publik. Pasar (suq)
yang menjadi wilayah kekuasaan muhtasib, menurut manual hisbah yang dibuat oleh
Ibnu Abdun, dianggap mewakili seluruh kehidupan sosial.[18]
Muhtasib merupakan bagian dari pegawai lembaga peradilan
karena penunjukkannya merupakan tanggung jawab hakim agung (qadi al-qudat). Dengan demikian,
muhtasib juga merupakan institusi keagamaan (wadzifa diniyah). Ia ditempatkan di Masjid Agung di Kairo dan
Fustat untuk mendengarkan pengaduan dalam pengadilan mazalim. Penempatan ini
memperlihatkan penitngnya posisi muhtasib dalam sistem peradilan dinasti ini.[19] Namun karena kekuasaan muhtasib dianggap memiliki fungsi
religius, maka orang yang ditunjuk sebagai muhtasib harus memiliki kualitas
moral yang tinggi.[20] Ia berkewajiban dan diberi otoritas untuk menjatuhkan
hukuman ta’zir, meskipun hudud tidak
berada di bawah mandatnya secara langsung.[21] Begitu penting dan besarnya jabatan ini tercermin dari
terpilihnya wazir atau imam itu sendiri untuk menduduki posisi ini. al-Hakim,
Menteri Ibu Killis, dan hakim Ali bin al-Nu’man misalnya pernah menduduki
jabatan ini.[22] Namun fakta ini juga mencerminkan bahwa otonomi dan
indepensi jabatan ini terbatas dan bahwa institusi ini mencoba menggabungkan
otoritas keagamaan dan politik.
Dengan demikian, peran muhtasib dalam sejarah Fatimiyah
sebagai pengawas tidak hanya terbatas pada pasar (suq) saja, namun meliputi semua aspek yang berkaitan dengan
produksi, distribusi, dan impor produk makanan. Jabatan muhtasib menjadi istimewa karena ia tidak hanya menjadi badan arbitrase
perdagangan tetapi juga agen pemerintah dan sekaligus pelaku yang aktif (karena
bisa melakukan monopoli) dalam aktivitas perdagangan masyarakat Mesir saat itu.[23] Pemerintah mendapatkan gandum dengan membelinya dari
pasar bebas, kemudian menanamnya di ladang-ladang pribadi milik imam, dan
kadang-kadang memonopoli komoditas sehingga harus berhadapan dengan para
pedagang yang menjualnya.[24] Karena hal itulah, membedakan milik pribadi, kepentingan
penguasa dan domain publik menjadi sulit.[25] Peran muhtasib sebagai
agen negara bagi publik dan simbol keagamaan merupakan hal yang problematik.
Praktik penjualan gandum oleh elite penguasa pada masa dinasti Fatimiyah lebih
bertujuan untuk mencari keuntungan sendiri dan mengabaikan permintaan rakyat
miskin.[26]
Seperti yang terlihat dalam fungsi muhtasib sebagai
pengumpul pajak dan penjaga moralitas publik, masalah yang potensial muncul
dari penyatuan antara insitusi keagamaan dan negara adalah ketidakjujuran dan
korupsi. Ulama-ulama seperti al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah, menggambarkan tanggung jawab muhtasib meliputi penyelenggaraan
shalat, puasa, membayar zakat, termasuk pengaturan urusan moralitas publik
seperti pengaturan penyatuan laki-laki perempuan di ruang publik, mabuk di muka
umum, atau pengunaan alat-alat musik. Fungsi-fungsi itu diselengarakan dengan
cara paksa di jalan-jalan kota Kairo dan kota lainya.[27] Ada pula hukum resmi yang berkaitan dengan warga dzimma seperti larangan untuk menunggang
kuda atau keledai dalam kota, atau kewajiban untuk memakai baju yang berbeda
dan mengalungkan lonceng di leher jika memasuki tempat mandi umum (hammam).[28] Saya akan mengulang penjelasan mengenai hal ini di
bagian lain.
Pengaruh dinasti
Fatimiyah terhadap Institusi Peradilan dan Keagamaan
Penjelasan
mengenai dinasti Fatimiyah dan institusi-institusinya diatas diharapkan bisa
menjadi latar dan konteks untuk penjelasan utama kita dalam bagian ini tentang
konsekuensi penyatuan otoritas agama dan politik. Walaupun dinasti Fatimiyah
memerintah Mesir selama dua abad, mazhab Syi'ah yang dianut oleh negara tidak
pernah benar-benar tersebarkan kepada masyarakat banyak, dan mayoritas
masyarakat Mesir tetaplah penganut
sunni. Jadi, apa konsekuensi dari patronase rezim fatimiyah terhadap mazhab
Syi'ah dan apa implikasinya terhadap
model penyatuan otoritas agama dan politik yang dipakainya?
Pada saat penaklukkan Jawhar al-Mishriyyah, gubernur
militer dinasti Fatimiyah, menawarkan surat jaminan keamanan (aman) kepada para bangsawan kota Fustat
(kelak kota ini dijadikan ibu kota Dinasti Fatimiyah) untuk memuluskan jalan
bagi terlaksananya program-program politik rezim baru, termasuk pengaturan
kehidupan keagamaan masyarakat.[29] Referensinya
kepada sunnah dan persatuan Islam jelas sesuai dengan interpretasi khas Ismaili
yang dirumuskan oleh Jauhar. Pada hari pertama penaklukkan, nama khalifah
Fatimiyah, al-Muizz, yang saat itu masih berkuasa di Tunisia disebut-sebut
dalam khutbah Jum'at di masjid Agung Fustat. Ini juga dimaksudkan sebagai cara
untuk memperlihatkan keinginan rezim baru untuk menegakkan citra Islam dengan
cara mengembalikan fungsi kota-kota suci dan keadilan di negeri-negeri Islam.[30] Penyebutan nama khalifah al-Mu'izz dan khalifah-khalifah
setelahnya, walaupun bukan fenomena baru, merupakan simbol yang amat kuat bagi dinasti
Fatimiyah untuk mengklaim otoritas keagamaan dan politik dan menentang dinasti Abbasiyah. Klaim
otoritas politik juga dilakukan dinasti ini dengan membuat uang logam yang
berpahatkan nama al-Mu'izz dan penguasaan keluarga Jawhar atas pengadilan mazalim.
Setelah kekuasaan di Fustat mulai stabil, Hakim Agung membagikan infak kepada
warga di masid Agung Fustat sebagai cara
untuk memperlihatkan keagungan dan keberadaan rezim Fatimiyah baru.[31]
Selain model ini, ada pula model penyatuan institusi
agama dan politik yang lebih tingi tingkatnya yaitu ketika 2 masjid agung
mencampurkan fungsi keagamaan, sipil dan administratif sementara pada saat yang
sama istana khalifah atau imam dipandang sebagai tempat yang tepat untuk proses
diseminasi pengetahuan. "Hakim agung Muhammad bin an-Nu'man mengajar ilmu
ahlul bait disana. Begitupun para da'i. Selain di Istana, mereka pun memberikan
kuliah di al-Azhar.[32] Khalifah atau Imam sering menjadi kurator dan patron
bagi berbagai institusi dan aktivitas keagamaan seperti wakaf masjid,
perpustakaan dan sekolah disamping ia juga menjadi tuan rumah penyelenggaraan
kuliah umum atau debat seperti menteri-menteri sipilnya.[33]
Dalam proses perdebatan dan perselisihan (munazarat),
"para oposan dihadapkan pada otoritas negara untuk diinterogasi, atau
paling tidak, untuk menjawab sejumlah pertanyaan mengenai masalah-masalah
pemahaman dan interpretasi agama."[34] Prestise negara dipertaruhkan dalam peristiwa semacam
itu .[35] Adapula majlis keilmuan (majlis al-ilm dan majlis
alhikma) yang menjadi wahana untuk penumbuhan, pengembangan dan pengajaran
mazhab syi'ah ismailiyah. [36] Dar al-Hikmah, misalnya, didirikan tahun 1005 dengan
sebuah perpustakaan besar. Ia berfungsi sebagai sekolah tempat berbagai cabang
ilmu termasuk teologi, filsafat, kedokteran, astronomi dan bahkan hukum sunni
diajarkan. Dar al-hikmah juga berfungsi sebagai pusat pelatihan bagi para da'I
syi'ah Ismailiyah. Kuliah-kuliah yang diselenggarakan di Dar al-Hikmah
ditujukan tidak hanya bagi kalangan Syiah Ismailiyah tetapi juga bagi kalangan
non-Syi'ah Ismailiyah."[37] Lembaga ini kemudian diwakafkan setelah berdiri selama
lima tahun sebagai upaya pemberian otonomi kepada para ulama sunni dan syi'ah.
Satu abad kemudian, ketika dua orang ulama mulai mengajarkan teologi asy'ariyah
dan ajaran-ajaran yang terinspirasi oleh al-Hallaj, "Wazir al-Afdal
memerintahkan penahanan kedua orang itu dan Dar al-Ilm pun ditutup."[38] Sejak saat itu,
Dar al-ilm mulai dipimpin oleh para da'I ismailiyah dan akhirnya dihancurkan
oleh Salahuddin ketika ia mengakhiri kekuasaan Dinasti Fatimiyah dan Mesir.[39]
Dinasti Fatimiyah mulai mengadakan penyesuaian praktik
dan kepercayaan agama di Mesir secara bertahap termasuk dengan cara
memperkenalkan cara adzan Syi'ah.[40] Namun sejak awal, nampaknya ada resistensi dan negosiasi
dari kalangan sunni. Sebagai contoh, dalam khutbah jum'at, imam shalat dari
kalangan sunni menyebutkan nama Jawhar, penguasa militer dinasti Fatimiyah,
namun tidak menyebutkan nama al-Mu'izz, Imam Syi'ah masa dinasti Fatimiyah.
Dengan demikian, "ia berusaha untuk menegosiasikan batas-batas antara
politik dan agama yang tidak jelas itu, untuk mengakui adanya pengaruh politik.
Namun pada saat yang sama, ia pun menolak otoritas spiritual."[41] Imam-lokal dengan demikian mendeklarasikan kesetiaannya
kepada penguasa militer Dinasti Fatimiyah sebagai otoritas yang sah secara de
fakto, namun menolak otoritas keagamaannya.
Kebiasaan dinasti Fatimiyah yang lebih menyukai
menggunakan hisab untuk menentukan akhir Ramadhan daripada ru'yah langsung dilembagakan walaupun masyarakat dan ulama
sunni tidak ikut dalam tradisi itu
sampai setahun kemudian.[42] Ada laporan yang menyebutkan bahwa Hakim Barqa dihukum
mati pada tahun 953 oleh al-Mu'izz karena melakukan observasi ru'yah untuk
menentukan awal puasa Ramadlan, daripada dengan menggunakan perhitungan
astronomi yang biasa dilakukan oleh Sang imam.[43] Seorang laki-laki juga dihukum karena ia melakukan
qunut, mungkin pada saat shalat Tarawih.[44] Namun hukuman-hukuman ini nampaknya tidak pernah
tercatat terjadi di Mesir, mungkin demi menjaga hubungan politik dengan
kalangan mayoritas sunni.
Ritual syi'ah lain seperti perayaan Id al-Ghadir dan
Ashura yang biasanya menjadi lebih publik dan provokatif bagi kalangan sunni,
juga menguat di bawah perlindungan dinasti Fatimiyah. Nampaknya baru di tahun
973, perayaan Id al-Ghadir diakui secara formal keabsahannya, seperti
sebelumnya pernah terjadi pada masa Dinasti Buwaihi di daerah Timur.[45] Perayaan Ashura mulai diformalkan pada tahun 970
walaupun berakhir dengan terjadinya kekerasan dengan komunitas sunni.[46] Selama perayaan
ashura 1005, mereka yang mengikuti perayaan berkumpul di Masjif al-Amr dan
setelah melakukan shalat juma't mereka memenuhi jalan dan meneriakkan kutukan
kepada para sahabat Nabi. Untuk meredam kericuhan, petugas menahan dan
menghukum seorang laki-laki dan mengumumkan kepada khalayak bahwa hukuman yang
sama akan ditimpakan bagi siapapun yang mengutuk Aisyah dan Abu Bakar lagi.[47] Walaupun perayaan Ashura dilaksanakan di luar kota oleh
qadi dinasti Fatimiyah, namun perayaan itu terus menimbulkan kerusuhan di dalam
kota.[48] In 1009, al-Hakim melarang perayaan Ashura dan kemudian
menunjuk seorang alim dari kalangan Hanbali untuk menempati posisi Hakim Agung
untuk meredam oposisi sunni. Namun, beberapa perayaan syi'ah yang lain seperti
malam rajab dan sya'ban, maulid nabi dan maulid para Imam Syi'ah Ali, Hasan dan
Husein tetap disponsori oleh negara. Pembuatan kalender yang khas ini memang
hanya mungkin dicapai dengan adanya infrastruktur negara yang kuat yang
mempergunakan sumberdaya untuk mengimplementasikan dan memanipulasinya.
Penggunaan kekuasaan seperti ini biasanya ditentang dan dikritik keras oleh
para ulama.
Dinasti Fatimiyah perlahan namun pasti mulai memaksakan
doktrin syi'ah Ismailiyah di negeri itu melalui institusi peradilan. Seperti
yang terlihat dalam kasus Abu Tahir (Hakim agung Mazhab Maliki yang sudah ada
di Mesir sebelum Dinasti Fatimiah menaklukkan negeri ini). Walaupun Jawhar
langsung berusaha untuk menerapkan hukum syi'ah Ismailiyah dalam kasus perceraian
dan warisan, namun Abu Tahir, hakim agung mazhab Maliki, masih diperkenankan
untuk menjabat sebagai hakim di Fustat karena ia setia kepada Jawhar dan
al-Mu'izz. Di samping itu, abu Tahir juga bisa mempertahankan jabatannya
sebagai Hakim Fustat meskipun Qadi al-Nu'man datang dan bertanggung jawab atas
tentara Dinasti Fatimiyah dan kasus-kasus mazalim. Namun, qadi berikutnya, Ali bin Nu'man, dengan
bantuan khalifah yang berkuasa saat itu, Al-Aziz, bisa menyingkirkan Abu Tahir
hingga semua kewenangan yang dimilikinya
jatuh ke tangan Ali bin Nu'man yang menjabat sebagai Qadi baru. Ali bin
Nu'man kemudian menunjuk saudaranya, Muhammad, sebagai deputi dan mereka
bersama-sama menerapkan hukum dinasti Fatimiyah di Kairo, Fustat dan di
kota-kota lainnya. Muhammad bin Nu'man mengangkat seorang ahli hukum Syi'ah
Ismailiyah di Masjid Agung untuk memberikan fatwa sesuai dengan ketentuan hukum
dinasti Fatimiyah dan menekan oposisi dari kalangan sunni.[49] Dengan demikian, pada masa-masa awal, Dinasti Fatimiyah
memang nampak enggan menentang elite-elite agama yang sudah ada, namun mereka
terus mengkonsolidasikan kekuasaannya ketika mereka mulai lebih stabil. Untuk
untuk tujuan diskusi kita pada bagian ini, kita bisa katakan bahwa pendekatan
Dinasti Fatimiyah terhadap isu ini murni tindakan politis.
Watak otoriter kekuasaan Imam dalam dinasti Fatimiyah
Mesir berarti bahwa birokrat sipil, bahkan yang berpangkat tinggi sekalipun,
harus mencari dukungan dari jaringan personal dan profesionalnya. Kebiassan ini
akhirnya menyebabkan terjadinya korupsi dan nepotisme.[50] Strategi yang umum digunakan, seperti yang sudah
disebutkan tadi, adalah melalui pemberian dukungan kepada ulama-ulama dan
ilmu-ilmu keagamaan. Cara ini misalnya dilakukan oleh Ibnu Killis, menteri
dinasti Fatimiyah yang awalnya Yahudi dan baru masuk Islam, dengan
mempekerjakan para sarjana dan intelektual yang berpartisipasi dalam berbagai
forum-forum munazharat.[51] Namun penting untuk diperhatikan, posisi Ibnu Killis
ketika melakukan tindakan itu tidak jelas, apakah ia melakukannya sebagai
bentuk kedermawanan personal atau dalam posisinya sebagai menteri?[52] Para khalifah tentu saja mengembil peran langsung dalam
patronase semacam itu, seperti yang dilakukan al-Hakim dengan dar al-ilminya,
atau dengan mengalokasikan sejumlah besar uang bagi dua masjid agung dan masjid
lainnya walaupun masjid-masjid tersebut tidak memberi pemasukan.[53] Al-Hakim juga
membangun masjid al-Hakim yang berisi sejumlah inskripsi yang menggambarkan
keagungan Sang Imam dan dianggap setara posisinya dengan masjid-masjid yang ada
di Mekah, Madinah dan Jerussalem.[54] Inovasi keagamaan yang dilakukan oleh dinasti Fatimiyah
Mesir ini berakar pada struktur hirarkis syi'ah Ismailiyah yang sudah ada
sebelumnya. Kadang-kadang negara mencoba memaksakan pelaksanaan doktrin-doktrin
Syiah Ismailiyah pada rakyat banyak, seperti dengan menekan perkembangan
mazhab-mazhab lain dan mengharuskan setiap orang untuk menghapal isi buku-buku
fiqih Syiah Ismailiyah.[55] Namun usaha-usaha semacam itu ditentang oleh
menteri-menteri dari kalangan sunni dan kristen seperti dalam kasus pendirian
sejumlah madrasah pada abad ke-12 oleh dua orang menteri sunni yaitu Ridwan dan
Sallar.[56]
[1] Crone and Hinds, God’s Caliph,
p. 99.
[2] Crone and Hinds, God’s Caliph,
pp. 100-101. Pengarang buku ini mengutip
ulama-ulama Syi'ah seperti Kulayni and Nu’man.
[3] Crone and Hinds, God’s Caliph,
p. 102.
[4] Crone and Hinds, God’s Caliph,
p. 103.
[5] Paula Sanders, Ritual,
Politics, and the City in Fatimid Cairo , Albany : State University
of New York
Press, 1994, 49.
[6] Sanders, Ritual, Politics,
and the City in Fatimid Cairo ,
pp. 49-50.
[7] Lev, State and Society in
Fatimid Egypt , Leiden : Brill, 65-66.
[8] Yacoy Lev, “Army, Regime and Society in Fatimid Egypt,
358-487/968-1094”, International Journal of Middle Eastern Studies, Vol. 19:3,
354
[9] Lev, “Army, Regime and Society”, 355.
[10] Lev, State and Society,
p. 70.
[11] Lev, “Army, Regime and Society”, 340, 341; M. Conrad, “Fatimids”,
in The Encyclopaedia of Islam, volume 2.
* Mazalim nampaknya
seperti PTUN karena ia adalah lembaga peradilan yang menangani masalah
kelaliman penguasa beserta keluarganya terhadap rakyat, namun kadang-kdang
fungsinya lebih dari itu. Sedangkan peradilan hisbah nampaknya seperti
pengadilan syari'at yang seperti diberlakukan di Aceh karena pengadilan ini
menangani pelanggaran terhadap prinsip amar
ma'ruf nahi munkar. (catatan penerjemah)
[12] Amin Haji, “Institutions of Justice in Fatimid Egypt
(358-567/969-1171)”, Aziz Al-Azmeh, ed. Islamic
Law: Social and Historical Contexts, Routledge, 1988, 198-200.
[13] Haji, “Institutions of Justice”, 200. See also Lev, State and Society, 135.
[14] Haji, “Institutions of Justice”, 203
[15] Haji, “Institutions of Justice”, 208, 209.
[16] Lev, State and Society,
153-157.
[17] See, for example, Lev State and Societ, 160-176; Jonathan Berkey,
“The Muhtasibs of Cairo Under the Mamluks: Toward an Understanding of an
Islamic Institution”, Michael Winter and Amalia Levanoni, eds., The Mamluks in Egyptian and Syrian Politics
and Society Leiden :
Brill NV, 2004.
[18] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 247, note 14.
[19] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo ”,
251.
[20] Lev, State and Society,
161; Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 249, note 28.
[21] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo ”,
248.
[22] Boaz Shoshan, “Fatimid Grain
Policy and the Post of the Muhtasib”,
International Journal of Middle East Studies,
vol. 13, 1981, 185 and Lev, State and Society, 161
[23] Lev, State and Society,
162.
[24] Shoshan, “Fatimid Grain
Policy”, 182
[25] Lev, State and Society,
162-63
[26] Lev, State and Society,
176.
[27] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo ”,
261- 64
[28] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo ”,
262-63
[29] Yaacov Lev, “The Fatimid Imposition of Isma`ilism on Egypt
(358-386/969-996)”, Zeitschrift der
Deutschen Morgenandischen Gesellschaft, vol. 138, 1988, 315.
[30] Mekah diobrak-abrik oleh Penganut Karmatiyah yang berusaha mencuri
hajar aswad dari Ka'bah. Perlu dicatat bahwa Karmatiyah adalah salah satu sekte
Syi'ah Ismailiyah yang tidak menyatakan kesetiannya kepada dinasti Fatimiyah,
dan malah dipergunakan oleh komandan-komandan dinasti Buwaihi untuk menyerang
dinasti Fatimiyah, walaupun kedua kelompok ini sebetulnya adalah Syi'ah. Farhad
Daftary, The Ismai`ilis: Their History
and Doctrines, Cambridge :
Cambridge University Press, 1990, 161-165.
[31] Lev, “The Fatimid Imposition of Isma’ilism on Egypt ”,
315-316.
[32] Sanders, Ritual, Politics,
and the City in Fatimid Cairo ,
43-44.
[33] Lev, State and Society,
71
[34] Paul Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, Journal of the American
Research Center
in Egypt ,
vol. 34, 1997, 180, 181.
[35] Walker ,
“Fatimid Institutions of Learning, 181.
[36] Walker ,
“Fatimid Institutions of Learning,
184-5.
[37] Sanders, Ritual, Politics,
and the City in Fatimid Cairo ,
p. 56
[38] Walker ,
“Fatimid Institutions of Learning”, 192
[39] Walker ,
“Fatimid Institutions of Learning”, 193.
[40] Lev, “The Fatimid Imposition”,
317
[41] Sanders, Ritual, Politics,
and the City in Fatimid Cairo ,
45-46.
[42] Lev, “The Fatimid Imposition” p. 316 and Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo , p. 45.
[43] Michel Brett, “The Realm of the Imam: The Fatimids in the Tenth
Century”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, vol.
59:3, 1996, 437-38.
[44] Lev, State and Society,
143 note 48
[45] Lev, “The Fatimid Imposition” 317 and Sanders, 124-5.
[46] Lev, “Fatimid Imposition”, 318.
[47] Sanders, Ritual, Politics,
and the City in Fatimid Cairo ,
125-26.
[48] Lev, “Fatimid Imposition”, 318.
[49] Lev, “Fatimid Imposition”, pp. 320-23.
[50] Lev, “State and Society” 73-4.
[51] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, p. 181.
[52] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, p. 188.
[53] Sanders, Ritual, Politics,
and the City in Fatimid Cairo ,
p. 62.
[54] Sanders, Ritual, Politics,
and the City in Fatimid Cairo ,
pp. 56-57.
[55] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, p. 185.
[56] Lev, State and Society,
140
1 komentar:
asalamuallaikum wr.wb
saya ingin bertanya apa hubungan Dinasti Fatimiyah dengan Dinasti Mamalik di mesir. Karena saya sering sekali melihat Artikel yang memaparkan Dinasti tersebut
Posting Komentar