Sekularisme yang didefinisikan sebagai pemisahan
kelembagaan antara Islam dan negara dengan tetap menjaga keterkaitannya dengan
politik lebih konsisten dengan sejarah masyarakat Islam daripada dengan ide
post-kolonial mengenai Negara Islam yang bisa menerapkan syariah melalui
kekuasaan Negara yang memaksa. Pemisahan antara otoritas keagamaan dengan
otoritas Negara merupakan perisai pengaman yang penting bagi kemungkinan
terjadinya penyalahgunaan peran politik Islam. Dengan membuktikan bahwa
sekularisme semacam ini merupakan hal yang islami, saya berharap bisa membantu
menghilangkan anggapan ummat Islam bahwa konsep ini merupakan pemaksaan ala
Barat yang akan menyisihkan agama ke ruang privat. Sebetulnya tidak ada satu model sekularisme Barat yang tunggal, karena setiap
masyarakat Barat menegosiasikan hubungan antara agama dan Negara dan antara
agama dan politik sesuai dengan konteks sejarah mereka. Keliru juga memahami
bahwa di Negara Eropa dan Amerika Utara yang dianggap sekuler, agama telah
dipinggirkan ke ruang privat.
Mengutip Ira Lapidus, “ada pembedaan yang jelas antara institusi Negara dan
agama dalam masyarakat Islam. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa tidak ada satu
model institusi agama dan Negara yang baku dalam masyarakat Islam; yang ada
adalah sejumlah model yang saling bersaing. Bahkan, dalam setiap model terdapat
ketidakjelasan mengenai bagaimana distribusi otoritas, fungsi dan hubungan
antara institusi-institusi tersebut.[1]
Penekanan saya terhadap perbedaan institusi agama dan
Negara dalam sejarah masyarakat Islam bukan berarti bahwa pengalaman masa lalu
masyarakat Islam tersebut harus menjadi model bagi masyarakat Islam saat ini
dan di masa depan. Ide seperti ini tidak mungkin dilaksanakan dan juga tidak
diinginkan karena masyarakat muslim saat ini memiliki konteks yang berbeda
dengan masyarakat muslim sebelumnya. Usaha untuk menerapkan pengalaman historis
tersebut akan menjadi tidak konsisten dengan asumsi mengenai pentingnya
menegosisasikan secara kontekstual hubungan agama dan negara serta hubungan
agama dan politik. Tinjauan historis dan
analisis terhadap hubungan antara Islam, negara dan politik dalam bagian
ini hanya ditujukan untuk memperlihatkan bahwa pendekatan yang saya ajukan bisa
didukung oleh analisis historis. Saya tidak bermaksud mengklaim bahwa salah
satu masyarakat tersebut telah hidup dalam negara sekuler yang modern. Namun,
tinjauan historis ini tetap akan menjadi signifikan bagi diskusi kita untuk
memperlihatkan bahwa pemahaman terhadap sekularisme yang saya ajukan di sini,
bukanlah ide yang asing dalam sejarah masyarakat Islam.
Untuk memenuhi tujuan tersebut, saya akan memulai dengan
menjelaskan cara saya membaca dan menginterpretasikan sejarah Islam. Setelah
itu, pada bagian dua bab ini, saya akan mengungkapkan visi ideal dan realitas
pragmatis sejarah Islam tersebut. Dalam bagian tiga, saya akan memperlihatkan
bagaimana visi ideal dan realitas pragmatis tersebut dalam sejarah Dinasti
Fatimiyah dan Mamluk di Mesir. Dalam bagian tiga tersebut, saya juga akan
membahas status ahl-al-dhimma (ahl al-kitab) di beberapa negara bagian
di Mesir untuk memperlihatkan implikasi pengalaman sejarah masa lalu tersebut
terhadap masa depan penerapan prinsip konstitusionalisme, kewarganegaraan dan
hak asasi manusia dalam masyarakat Islam saat ini.
Satu hal yang harus saya klarifikasi dari penjelasan ini
adalah bahwa sejarah yang saya kemukakan di sini adalah sejarah ummat Islam
yang menjadi mayoritas di sebuah daerah. Namun bukan berarti status mayoritas
ini membuat mereka dianggap Islami atau ideal menurut sumber-sumber dasar
Islam. Ummat Islam dulu maupun sekarang biasa berpendapat bahwa kegagalan ummat
Islam saat ini bukanlah karena Islam itu sendiri, melainkan karena mereka tidak
bisa menjalankan islam yang ideal. Saya tidak menganggap argumen ini relevan
dengan apa yang akan saya ungkapkan di sini, karena saya lebih tertarik dengan
Islam yang dipraktikkan dan dipahami oleh ummatnya; bukan Islam yang ada dalam
tataran ideal dan berbentuk abstrak. Memang selalu ada dimensi Islam yang ada
di luar pemahaman dan pengalaman manusia. Dimensi ini biasanya ada, paling tidak, dalam ingatan kolektif yang relevan
dengan organisasi politik dan sosial masyarakat. Contohnya seperti yang
tersurat dalam Qs. 43: 3 dan 4, “kami telah menurunkan al-Qur’an dalam bahasa
Arab kepadamu agar kamu memahaminya,…….”. Ketika mengutip ayat-ayat tersebut
atau ayat al-Qur’an lainnya di sini, berarti kita sedang berusaha untuk
menurunkan maknanya dalam bahasa Inggris karena al-Qur’an tidak bisa
diterjemahkan begitu saja. Demikian juga ketika seseorang mengutip al-Qur’an
dalam versi Arabnya, proses penurunan makna itu akan tetap terjadi karena
tidaklah mungkin seseorang merujuk pada al-Qur’an kecuali jika ia memahaminya.
Dengan kata lain, usaha apapun untuk mengidentifikasi
atau mendeskripsikan islam yang ideal kepada orang lain selalu terhambat oleh
keterbatasan-keterbatasan dan kemungkinan manusia untuk berbuat salah. Memang
tingkat pemahaman dan pengalaman seseorang terhadap makna al-Qur’an itu
berbeda-beda, tapi tidak ada seorang manusia pun yang bisa sepenuhnya
mentransendensikan kemanusiaannya, terutama kepada manusia lain. Jika kemampuan
manusia yang terbatas untuk memahami dan mengkomunikasikan sesuatu itu selalu
menjadi dasar bagi usaha untuk mengembangkan hubungan sosial dan politik sesuai
dengan ajaran Islam, saya jadi mempertanyakan apa sebenarnya yang dimaksud
dengan Islami dalam konteks ini? saya tidak bermaksud menolak adanya keragaman
individual dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam, namun pemahaman
dan pengamalan ini tidak bisa dijadikan dasar organisasi sosial dan politik
masyarakat, kecuali jika ada pemahaman yang sama dan bisa dipatuhi oleh semua
pihak. Dengan kata lain, makna kolektif dan praktis istilah “Islami” itulah
yang harus terus dianalisis dan direfleksikan sepanjang sejarah pengalaman
ummat Islam dulu, kini dan nanti.
Dalam
bingkai perspektif inilah saya menjadikan bab ini sebagai sebuah usaha untuk
menunjukkan kontradiksi yang terdapat dalam gagasan penyatuan otoritas politik
dan agama. Saya juga ingin menunjukkan bahaya yang tak terhindarkan jika
mengimplementasikan gagasan tersebut. Saya katakan dengan jujur bahwa bahaya
itu akan tetap ada, baik jika gagasan tersebut diklaim secara eksplisit ataupun
implisit, atau bahkan jika ia hanya sebuah usaha yang dilakukan secara selektif
tanpa klaim terbuka. Tujuan ini saya ungkapkan di sini dalam konteks pengalaman
sejarah masyarakat muslim dimana kualitas Islami dipahami dengan cara
sebagaimana yang sudah saya ungkapkan tadi. Saya menyadari bahwa saya tidak
mungkin mempresentasikan pembahasan sejarah yang komperehensif atau
mendiskusikan aspek atau peristiwa tertentu yang disebutkan dalam bab ini
secara lengkap. Bahkan jikapun hal ini bisa dilakukan, saya akan sulit
mengklarifikasi hal penting yang ingin saya bahas dalam bab ini. Karena itulah,
saya hanya akan menyoroti beberapa peristiwa dan tema yang cukup familiar dalam
sejarah Islam untuk memperjelas isu yang saya bicarakan di sini. Saya juga akan
mengutip beberapa sumber yang memberikan informasi dan elaborasi lebih lanjut.
I.
Kerangka untuk Membaca Sejarah Islam
Sejarah sebuah masyarakat berisi berbagai jenis peristiwa
dan dimensi hubungan manusia. Persepsi yang berbeda mengenai sejarah pasti
cenderung menekankan satu atau beberapa elemen, dan ini dilakukan untuk
mendukung institusi sosial, relasi ekonomi atau organisasi politik tertentu.
Sebagai contoh, persepsi yang berbeda tentang sejarah bisa saja menekankan
tradisi toleran atau, malah, sebaliknya terhadap perbedaan agama, praktik dan
pendapat politik dalam masyarakat. Karena perbedaan persepsi itu dikutip untuk
mempengaruhi pandangan dan perilaku ummat Islam saat ini, pembuat kebijakan dan
pihak yang terlibat dalam debat publik cenderung untuk menekankan
persepsi-persepsi yang cocok dengan posisi mereka. Pihak-pihak yang terlibat
dalam debat pasti menekankan visi mereka tentang sejarah secara meyakinkan.
Namun sayangnya, visi itu tidak serta merta menjadi benar atau sah. Jelas bahwa
kerangka dan interpretasi terhadap sejarah Islam yang akan saya kemukakan
berikut ini pun merupakan salah satu persepsi-persepsi yang saling bersaing dan
memiliki sisi kemanusiaannya. Karena itu, kerangka ini bukan merupakan
satu-satunya pandangan yang sah. Namun, memang begitulah pendekatan sejarah;
tidak ada seorang pun yang bisa bersikap netral atau objektif terhadap sejarah
Islam dan sejarah lainnya.
Studi kasus mengenai dinasti Fatimiyah dan Mamluk Mesir
yang saya paparkan di sini bukanlah wakil dari seluruh masyarakat Islam masa
lalu, bahkan bagi masyarakat yang ada di negeri tersebut dan hidup pada saat
itu, apalagi dari masyarakat Asia Tengah atau masyarakat Afrika. Tetapi, fokus studi kasus ini sedikit banyak dipengaruhi
oleh adanya bias mengenai posisi Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai pusat
Islam. Dominannya fakta sejarah itu membuat Islam hanya dipahami sebagai
pengalaman sosial dan budaya masyarakat Islam di daerah tersebut, terutama pada
masa 4 atau 5 tahun pertama Islam. Akibatnya, penguasa-penguasa Muslim di
daerah lainnya hampir menganggap pengalaman masyarakat Islam Timur Tengah
sebagai kerangka wacana keislaman yang sah dan otoritatif. Bahkan masyarakat muslim yang tinggal di
daerah lain pun menganggap bahwa pengalaman keagamaan dan sosial mereka lebih
rendah dibandingkan dengan pengalaman masyarakat Timur Tengah jika digunakan
sebagai argumen keagamaan. Ini bisa dipahami karena teks al-Qur’an dan sunnah
berbahasa Arab dan dipahami dalam konteks pengalaman masyarakat Arab saat itu.
Namun ketika kekuatan untuk menentukan diri sendiri (self-determination) semakin menguat, pengakuan yang sama nampaknya
harus diberikan kepada semua pengalaman masyarakat Islam, dimanapun mereka
berada.
Bias yang tadi saya sebutkan nampaknya sudah sangat
tertanam dalam sumber dan sejarah intelektual masyarakat Islam sehingga tidak
mungkin dihilangkan dalam waktu singkat. Namun, upaya tersebut tidak mungkin
dimulai jika kita tidak mengenalinya saat ini. Meskipun mengidentifikasi bias
semacam itu bukan kompetensi saya, namun saya berharap ide saya mengenai
pembacaan alternatif terhadap sejarah masyarakat Islam dapat memunculkan debat
mengenai isu tersebut, terlepas dari pengalaman sejarah yang digunakan untuk
melakukan hal itu. Menurut saya, mengambil pelajaran dari pengalaman satu
masyarakat Islam pra-modern dengan menggunakan sebanyak-banyaknya sumber lebih
baik daripada kita menyesali kurangnya
perhatian terhadap pengalaman beberapa masyarakat. Melalui perspektif
inilah, saya akan berusaha untuk mengklarifikasi tema utama bab ini yaitu
memahami pengalaman hubungan Islam dengan negara dan politik dalam sejarah
pengalaman masyarakat Islam.
Hubungan antara Islam, negara dan politik sepanjang
sejarah masyarakat Islam jelas merefleksikan ketegangan permanen antara visi
ideal penyatuan Islam dan negara dengan kebutuhan pemimpin agama untuk
melanggengkan otonominya dari institusi negara. Pemimpin agama membutuhkan
otonomi dari negara untuk mempertahankan otoritas moralnya pada negara dan
masyarakat secara keseluruhan. Kerangka dasar yang digunakan untuk memediasi
ketegangan itu adalah adanya harapan ummat Islam kepada negara untuk memegang
teguh prinsip-prinsip Islam dalam menjalankan kewajibannya sekaligus menjaga
wataknya yang sekular dan politis. Harapan yang pertama berdasarkan pada
keyakinan ummat Islam bahwa Islam menyediakan model yang komprehensif untuk
kehidupan individu dan publik dalam ruang publik maupun ruang privat. Namun,
negara pada dasarnya memang merupakan institusi yang sekular dan politis karena
kekuasaan dan institusinya menuntut bentuk dan tingkat kontinuitas dan
prediktabilitas yang tidak bisa disediakan oleh otoritas keagamaan. Memang
pemimpin agama bisa dan memang harus menekankan cita keadilan dan kesetiaan
terhadap syariah dalam teori. Tapi, mereka tidak mempunyai kekuasaan maupun
kewajiban untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan praktis seperti bagaimana
mempertahankan perdamaian antar komunitas lokal, mengatur relasi ekonomi dan
sosial atau mempertahankan negara dari ancaman luar. Fungsi pragmatis itulah yang
menuntut negara untuk memiliki kontrol yang efektif terhadap wilayah dan
penduduknya, serta memiliki kemampuan untuk menggunakan kekuataan pemaksa agar
penduduknya tunduk dan patuh pada kekuasaanya. Fungsi seperti ini nampaknya
lebih mungkin dipenuhi oleh pemimpin politik daripada pemimpin agama.
Namun demikian, bukan berarti pemimpin agama tidak bisa
memiliki otoritas politis atas pengikutnya. Saya hanya menyarankan untuk
membedakan kedua jenis otoritas ini, bahkan jikapun keduanya dimiliki oleh satu
orang. Sebagai contoh: otoritas keagamaan lebih berdasarkan pada penilaian dan
kepercayaan personal terhadap tingkat kesalehan seorang ulama. Penilaian
subjektif seperti ini hanya mungkin dilakukan melalui interaksi yang rutin dan
bersifat lokal. Namun perlu juga diingat bahwa model interaksi yang seperti ini
nampaknya tidak bisa dimiliki oleh semua orang, apalagi bagi mereka yang
tinggal di daerah perkotaan atau di daerah yang sangat jauh. Sebaliknya,
otoritas politik cenderung berdasarkan kualitas yang bisa dinilai secara lebih
“objektif”. Kualitas tersebut menyangkut kemampuan untuk menjalankan kekuasaaan
kursif dan administrasi yang efektif bagi kemaslahatan komunitas. Saya harap
pembedaan ini bisa menjadi lebih jelas pada bagian-bagian selanjutnya.
Setiap masyarakat membutuhkan negara untuk melaksanakan
fungsi-fungsi penting seperti mempertahankan kedaulatan dari ancaman luar,
menjaga perdamaian dan keamanan publik dalam wilayahnya, menyelesaikan
perselisihan antarwarga serta menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk
kebaikan mereka. Agar negara bisa menjalankan fungs-fungsi tersebut, ia harus
memilih salah satu dari sejumlah kebijakan yang saling bertentangan dan
mempunyai monopoli yang efektif untuk menggunakan kekuatannya dalam
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Saya harus tekankan di sini
bahwa kita sedang berbicara tentang kebijakan publik dalam skala yang luas;
bukan kepercayaan personal seseorang terhadap pemimpin agamanya dengan mematuhi
saran-saran yang mereka berikan dalam persoalan-persoalan rutin maupun
spiritual. Kebutuhan untuk melaksanakan kebijakan publik yang umum, seperti
dibedakan dari kepatuhan sukarela seorang individu, menuntut adanya pemimpin
yang ditentukan (baik melalui ditunjuk, dipilih atau dengan cara apapun) karena mereka diharapkan bisa melaksanakan
fungsi-fungsi tersebut. Pemimpin-pemimpin itu diharapkan pula memiliki
kecakapan politik dan kemampun untuk menggunakan kekuasaaan kursif. Kualitas pemimpin politik yang efektif,
dengan demikian, harus ditentukan oleh publik dalam skala yang luas, dengan
cara yang jelas dan teratur, agar bentrokan sipil atau konflik bernuansa
kekerasan dapat diminimalisir. Ketidakpastian mengenai pemimpin politik dan
otoritas mereka menimbulkan resiko perang sipil, kekacauan, bentrokan atau,
paling tidak, kebuntuan dan kebingungan dalam pemerintahan.
Sebaliknya, pemimpin agama mendapatkan pengakuan dari
ummat karena kesalehan dan pengetahuan mereka. Pengakuan ini bisa ditentukan
oleh penilaian personal seseorang yang butuh untuk tahu potensi pemimpin
agamanya melalui interaksi sehari-hari. Identitas dan otoritas pemimpin agama
hanya bisa dicapai secara gradual dan tentatif melalui relasi interpersonal
dengan pengikutnya. Dalam pandangan saya, hal ini tidak saja terjadi dalam
komunitas sunni, namun juga dalam komunitas syi’ah yang memiliki hirarki
struktural yang sudah mapan. Dalam komunitas Syi'ah, interaksi harian di level
lokal ini diperkuat dengan otentisitas rantai riwayat yang sampai pada Imam
atau Syeikh. Perbedaan antara otoritas politik dan keagamaan yang saya tekankan
di sini, bisa juga diungkapkan untuk membedakan antara kekuasaan kursif dan
kekuasaan eksklusif yang dimiliki oleh pemimpin politik atas wilayah dan
penduduk tertentu, dengan otoritas moral yang dimiliki oleh pemimpin agama yang
bisa juga berlaku luas dan bagi banyak orang.
Dengan demikian, ada perbedaan fundamental antara
kualitas pemimpin politik dan pemimpin agama dalam cara penunjukkan atau
pemilihan mereka dan bentuk serta jangkauan otoritasnya terhadap pengikutnya.
Mungkin saja beberapa pemimpin politik juga memiliki kesalehan dalam beragama
dan pengetahuan. Begitupun pemimpin agama, mereka bisa memiliki keterampilan
berpolitik dan kemampuan untuk menggunakan kekuasaan kursif. Bahkan nampaknya
umat Islam mengharapkan masing-masing pemimpin memiliki kualitas yang lain.
Seorang pemimpin politik misalnya diharapkan memiliki tingkat kesalehan dan
pengetahuan tertentu, sementara pemimpin agama juga diharuskan memiliki
keterampilan berpolitik untuk bisa memenuhi peran mereka dalam masyarakat.
Namun, penguasa manapun tidak akan mengijinkan adanya penilaian independen
terhadap tingkat kesalehan dan pengetahuannya, apalagi jika itu dikaitkan
dengan klaim legitimasi mereka atas kekuasaan. Sebaliknya, keterampilan politik
pemimpin agama bisa dinilai melalui interaksi inter-personal yang damai dan
tanpa kekerasan. Suatu hal yang tidak realistis untuk mengharapkan penguasa
melepaskan kekuasaan kursifnya karena masyarakat menilai tingkat kesalehan dan
pengetahuan mereka tidak cukup. Sama tidak realistisnya mengharapkan pemimpin
agama melepaskan otoritas mereka hanya karena kualitas dan keterampilan
politiknya tidak memuaskan. Namun, membiarkan orang yang sama untuk memiliki
kedua otoritas ini pun merupakan hal yang berbahaya dan kontra produktif,
karena tidak mungkin memecatnya tanpa resiko terjadinya kekacauan sipil dan
kekerasan.
Karena legitimasi keagamaan merupakan hal yang penting
bagi penguasa untuk mempertahankan otoritas politiknya terhadap ummat Islam,
tak heran jika mereka selalu cenderung mengklaim bahwa mereka memiliki otoritas
keagamaan. Namun, klaim seperti itu tidak serta merta menjadikannya muslim yang
hebat atau menjadikan negara yang dipimpinnya islami. Malah, penguasa biasanya
sangat menginginkan legitimasi keagamaan ketika klaim mereka tidak lagi
dianggap sah. Padahal, kerendahan hati yang merupakan simbol kesalehan,
menuntut seseorang untuk tidak mengklaim dirinya sebagai orang soleh atau
paling tidak, tidak secara aktif mengakui kualitas tersebut. Namun bila cara
ini ditempuh, penguasa harus menyeimbangkan kontrol mereka terhadap pemimpin
agama dengan membiarkan mereka tetap mempertahankan otonomi relatifnya. Otonomi
inilah yang justru menjadi sumber kekuatan untuk memberikan legitimasi bagi
otoritas penguasa. Tapi, penguasa juga tidak bisa memberikan kebebasan
sepenuhnya kepada pemimpin agama, karena mereka mungkin menggunakan kebebasan
itu untuk melemahkan otoritas politik negara. Pemimpin agama, memang, harus
bersikap kritis kepada negara karena dengan cara demikian, mereka bisa
mempertahankan otoritas keagamaan mereka di tengah-tengah komunitas dan juga
mendorong negara untuk mengontrol mereka.
Dengan demikian, semakin besar otonomi pemimpin agama, semakin besar
pulalah tantangan mereka bagi otoritas politik negara. Tetapi, jika mereka
dianggap dikontrol oleh negara, semakin kecil pulalah kemungkinan masyarakat
menerima penilaian mereka bahwa negara sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Dengan kata lain, sejarah memperlihatkan bahwa institusi agama dan negara
memang harus dipisahkan, namun dalam praktiknya keadaan ini sulit untuk
dipertahankan.
Paradoks yang dalam dan kompleks ini, yang juga merupakan
pengalaman komunitas agama lain dan bukan hanya ummat Islam, mengantarkan kita
pada bagian berikutnya. Otoritas keagamaan harus dipisahkan dari kekuasaan
politik agar pemimpin agama bisa menjaga penguasa untuk tetap akuntabel
pada prinsip-prinsip Islam. Karena
akuntabilitas murni tidak mungkin bergantung pada kerjasama sukarela penguasa
yang pasti merasa terbebani dengan itu, maka persoalannya adalah bagaimana
membuat penguasa tetap akuntabel tanpa harus menghadapi ancaman pemberontakan.
Jika otoritas keagamaan mengancam atau cenderung memberontak, seperti yang
terjadi sepanjang sejarah, penguasa akan berusaha menekan mereka dengan
kekerasan yang akhirnya mengarah pada perang sipil atau kekacauan sipil. Inilah
dilema yang dihadapi pemimpin agama seperti al-Ghazali untuk mentoleransi
penguasa yang opresif atau tidak sah dan menyebutnya sebagai The Lesser of Two Evils (iblis kerdil).
Dari
perspektif ini, sejarah Islam bisa dibaca sesuai dengan jarak antara institusi
agama dan negara yang dialami atau dibangun oleh rezim yang berbeda. Model pertama hubungan ini adalah penyatuan utuh
institusi agama dan negara berdasarkan prototipe masyarakat yang dibangun Nabi
di Madinah yang mengasumsikan keharusan penyatuan kepemimpinan militer dan
politik dengan kepemimpinan agama. Dalam model seperti itu berarti tidak ada
pemisahan antara institusi agama dan politik; masyarakat diorientasikan pada
satu figur, dan nampaknya ada hirarki dan sentralisasi yang kuat. Model yang
lain adalah pemisahan utuh antara otoritas agama dan politik yang nampaknya
menjadi pilihan yang dominan dipraktikkan, meskipun tidak penah diakui secara terbuka
oleh rezim yang bersangkutan karena mereka masih menganggap pentingnya
mendapatkan legitimasi keagamaan. Ambivalensi ini berarti bahwa kebanyakan
rezim politik di negara-negara Islam ada
diantara dua model ini. Mereka tidak pernah mencapai penyatuan secara utuh
seperti model ideal yang dicontohkan Nabi, meskipun mereka selalu mengklaim
lebih dekat pada model ini daripada ke model pemisahan utuh antara otoritas
politik dan agama. Hal yang ingin saya
tekankan dalam bab ini adalah ummat Islam lebih baik mengenali
ketidakmungkinannya mencapai model penyatuan utuh agar mereka lebih mudah untuk
mengelola dan mengatur model pemisahan yang lebih pragmatis. Saya akan jelaskan
hal ini lebih lanjut pada bagian lain dalam bab ini.
Penyatuan
ideal tidak mungkin dicapai setelah Nabi meninggal karena tidak ada seorang
manusiapun pada saat ini yang memiliki otoritas politik dan keagamaan yang sama
sepertinya. Sebagai perwujudan utama model ini, ummat Islam menerima Nabi
sebagai satu-satunya pembuat undang-undang, hakim dan pemberi perintah.
Pengalaman seperti itu unik dan tidak bisa direplikasi, karena ummat Islam
percaya bahwa tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad. Semua penguasa sejak Abu
Bakar, Khalifah pertama, harus menegosiasikan atau memediasi ketegangan permanen
antara otoritas politik dan agama, karena tidak satupun dari mereka yang
dianggap mampu oleh semua ummat Islam untuk menggantikan posisi Nabi yang telah
mendefinisikan Islam dan yang menentukan bagaimana ia harus diimplementasikan
oleh ummatnya.
Semua pemimpin, memang, pasti menghadapi oposisi yang
bisa jadi sangat kuat bahkan, kadang-kadang, penuh kekerasan. Namun perbedaan
yang signifikan antara dua model otoritas ini adalah bahwa klaim oposisi
terhadap otoritas politik hanya bisa berdasar pada penilaian manusia yang bisa
dinilai oleh manusia lain. sedangkan oposisi terhadap kepemimpinan agama
memerlukan adanya otoritas ketuhanan yang tentu saja mampu mengatasi tantangan
manusia. Karena dasar otoritas politik, seberapapun despotik dan otoriternya,
adalah representasi pandangan dan kepentingan warga, maka ia bisa ditantang
dengan menggunakan alasan-alasan yang sama. Sebaliknya, karena dasar
kepemimpinan agama adalah klaim otoritas moral, maka ia tidak bisa tunduk pada
penilaian manusia. Meskipun ada kebebasan untuk menerima atau menolak
pesan-pesan Islam, namun tidak ada masalah oposisi politik yang ditujukan
kepada Muhammad di kalangan Ummat Islam yang mengakuinya sebagai nabi terakhir.
Sebaliknya, ketika Abu Bakar menggunakan otoritasnya untuk memerangi suku-suku
Arab yang menolak untuk membayar zakat kepada negara, banyak sahabat Nabi yang
terkemuka, termasuk Umar yang menggantikannya sebagai khalifah kedua, menentang
kebijakan ini.
Contoh yang saya kemukakan barusan masih menjadi bahan
kontroversi di kalangan sarjana Islam, seperti yang dijelaskan dalam bagian
berikutnya, karena Abu Bakar menggunakan alasan keagamaan untuk menumpas
pemberontakan. Saya sendiri berpendapat bahwa Abu Bakar membuat keputusan yang
benar. Namun saya juga melihat bahwa pada sahabat menerima pendapat Abu Bakar
karena ia adalah pemimpin politik komunitas muslim saat itu, dan bukan karena
persoalan otoritas keagamaan. Tentu saja benar bahwa, bagi para sahabat Nabi
saat itu, seperti bagi ummat Islam generasi berikutnya, ketaatan kepada
penguasa yang sah merupakan kewajiban agama seperti yang tersurat dalam Qs.
4:59. Namun, kewajiban ini juga nampaknya berlaku meskipun seseorang tidak
setuju dengan kebijakan penguasa dengan
alasan keagamaan demi mempertahankan stabilitas dan keamanan masyarakat. Jika
saja Umar yang menjadi khalifah pada saat itu, mungkin pandangannya yang tidak
sesuai dengan Abu Bakarlah yang akan berlaku. Dari perspektif inilah, situasi
yang melatari peristiwa-peristiwa itu jelas-jelas politik dan bukan agama, walaupun
kampanye untuk memerangi suku Arab yang murtad itu memiliki alasan-alasan
religius sekaligus politik.
Jelas bahwa para penguasa muslim terus berusaha
mengamankan kontrol mereka atas negara dengan menarik atau memaksa otoritas
keagamaan untuk melegitimasi kekuasaannya. Namun, di sisi lain, otoritas
keagamaan juga berusaha untuk mempertahankan tingkat otonomi dan kemerdekaan
mereka dari aparat negara agar mereka bisa menantang atau bahkan memperbaiki
penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat negara. Seperti yang sudah
saya catat sebelumnya, negara harus menyelesaikan paradoks pemberian otonomi
yang cukup bagi otoritas keagamaan agar
mereka bisa mendapatkan legitimasi dari kelompok ini untuk kekuasaannya. Tapi,
penguasa juga tidak bisa membiarkan mereka terus independen, hingga mereka bisa
menantang otoritas negara. Secara historis, model yang telah ternegosiasikan,
telah diperlihatkan melalui sistem patronase dan pemberian sponsor oleh pihak
yang berkuasa kepada institusi-institusi keagamaan. Beberapa bentuk negosiasi
telah kita saksikan sebelumnya, namun bentuk yang paling jelas bisa ditelusuri
ke pertengahan abad ke-10 ketika Dinasti Buwaihhi menaklukkan Baghdad dan harus
menghadapi minoritas syi'ah serta sunni yang menolak kehendak politiknya.
Setelahnya, dinasti Saljuk, Zangid, Ayyub, dan Mamluk meniru model ini dengan
berbagai penyesuaian.
Ini tidak berarti bahwa otoritas keagamaan selalu
mengakomodasi atau dikooptasi dan dipaksa oleh
penguasa. Para ulama dan pemimpin sufi, misalnya, memilih untuk
menghindari negara dan aparatusnya. Meskipun kebanyakan pemimpin agama yang
beroposisi kepada pemerintah melakukannya dengan cara damai, tak sedikit di
antara mereka yang terpaksa mengunakan pemberontakan. Mungkin kasus-kasus
oposisi politik para pemimpin agama tidak memperlihatkan model terpisah,
seperti yang terlihat pada respon sejumlah pemimpin agama terhadap penguasa
yang berusaha mendapatkan legitimasi bagi negara yang dipimpinnya. Namun keberadaan respon-respon tersebut tetap
menunjukkan adanya pembedaan antara otoritas agama dan negara, seperti yang
sudah diungkapkan oleh Lapidus di muka. Sekarang saya akan mencoba untuk
mengklarifikasi dan mendukung perspektif tentang sejarah masyakat Islam ini
dengan menyoroti pola hubungan Islam, negara dan politik dan tidak sekedar
menarasikan peristiwa dan sosok.
Sekedar menyimpulkan, pembacaan atau cara pandang
terhadap sejarah masyarakat Islam yang saya ajukan adalah bahwa ada pemisahan
yang jelas antara otoritas agama dan politik yang bisa ditelusuri sejak masa
Abu Bakar menjadi khalifah pertama negara Madinah. Fakta bahwa pandangan ini
tidak berlaku di kalangan ummat Islam tidak berarti bahwa pandangan ini dengan
sendirinya keliru. Malah, krisis hubungan antara Islam dengan negara dan
politik yang sedang dialami oleh ummat Islam saat ini di manapun mereka berada,
mengindikasikan pentingnya cara baru dalam membaca sejarah. Cara ini diharapkan
berguna sebagai pedoman pelaksanaan syariah dalam masyarakat muslim di masa
yang akan datang karena cara pandang lama yang sudah familiar nampaknya mulai
tidak berlaku. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa pandangan yang saya ajukan
di sini seluruhnya benar, hanya saja ajuan ini perlu dipertimbangkan secara
serius sebagai alternatif bagi pandangan umum yang berlaku saat ini, daripada
sekedar dianggap keliru karena sifatnya yang tidak familiar.
II.
Permulaan Mediasi antara Visi Ideal
dan Realitas Pragmatis
Seperti yang sudah saya ungkapkan, karena model Nabi di
Madinah terlalu unik untuk direplikasi, saya akan memfokuskan pembahasan ini
dengan mengklarifikasi signifikansi masa Khulafaurrasyidin (abu Bakar, Ustman,
Umar dan Ali) pada tahun 632-661, dan periode Umayah (661-750).[2] Saya akan mempertimbangkan sejarah masa awal ini dalam
hubungannya dengan dua model penyatuan dan negosiasi hubungan antara Islam dan
negara maupun antara Islam dan politik. Dalam bagian kedua saya akan menguji
secara singkat beberapa peristiwa dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh
peristiwa mihnah yang dimulai pada
masa Khalifah al-Ma'mun di tahun 833 dan dilanjutkan oleh penguasa setelahnya
dalam hubungannya dengan pertanyaan yang kita bahas dalam bab ini. Karena
peristiwa-peristiwa itu menekankan pentingnya membedakan Islam dan negara,
bagian ketiga akan menyoroti pentingnya wakaf sebagai kekuataan kelembagaan dan
keuangan institusi keagamaan dan otonomi ulama dalam menegosiasikan hubungan
Islam dengan negara dan politik.
Sebagaimana muslim yang lain, sulit bagi saya untuk
menawarkan refleksi analitis terhadap fase awal sejarah Islam tersebut karena
tingginya penghormatan yang diberikan kepada para sahabat yang terlibat dalam
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa itu. Bagaimana saya bisa melakukan
penilaian salah atau benar kepada Abu Bakar, seorang sahabat Nabi yang paling
dihormati di kalangan muslim sunni, ketika ia memutuskan untuk mengobarkan
perang terhadap orang murtad atau yang lebih dikenal sebagai hurub al-rida,
atau menilai bagaimana ia mengatasi persoalan Khalid bin al-Walid karena
perilakunya selama masa penaklukan? Bagaimana saya bisa mengkritik Muawiyah,
seorang sahabat lain yang mendirikan dinasti Umayyah? Namun, sebagai seorang
muslim saya juga harus merefleksikan sosok-sosok tersebut dan perilaku mereka
karena saya percaya pentingnya menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh ummat
Islam kini dan nanti. Karena sebagai Muslim saya tidak mau menghindar dari
tanggung jawab dengan hanya menjauhi isu semacam ini. Saya malah merasa
terhormat untuk mengungkapkan pandangan seperti itu dan karena saya
melakukannya untuk kemasalahatann bersama bukan demi keuntungan pribadi.
Lagipula, keterlibatan saya dalam melakukan refleksi
kritis terhadap aksi politik sosok-sosok religius itu merupakan bagian dari
alasan saya untuk tetap menekankan pentingnya netralitas negara terhadap agama,
seperti yang berkali-kali saya ajukan dalam buku ini. Pemisahan antara agama
dan negara diperlukan agar ummat Islam bisa memegang teguh kepercayaan agamanya
dan hidup sesuai dengan kepercayaan itu tanpa mengabaikan tanggung jawab mereka
untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan publik masyarakatnya. Sejarah
menunjukkan bahwa pemuka agama rentan terhadap rayuan dan paksaan untuk
mendukung agenda politik penguasa, bahkan mereka rentan terhadap konsekuensi
yang berat seperti yang terlihat dalam kasus mihnah berikut ini. Untuk menghindari dilema ini, beberapa pemimpin
agama cenderung menghindari keterlibatan serius dalam urusan publik. Daripada
menghadapi kesulitan yang sama, saya menyarankan agar ummat Islam saat ini
sebaiknya menempuh upaya pemisahan antara Islam dengan negara, yang berarti
bahwa mereka yang mengontrol negara tidak bisa menggunakan kekuasaan kursifnya
memaksakan atau menerapkan kepercayaannya. Tujuan saya merefleksikan relevansi
dan signifikansi peristiwa-peristiwa sejarah fase awal dan sangat diperdebatkan
ini adalah untuk melihat apa yang mereka perlihatkan kepada kita tentang Islam
dan negara, tanpa menilai apa yang benar dan yang salah, siapa yang baik dan
siapa yang jahat.
Perang terhadap Orang-Orang Murtad dan
Watak Negara
Suksesi Nabi merupakan
topik yang tetap hangat diperdebatkan sepanjang sejarah masyarakat Islam karena
implikasinya yang besar terhadap watak negara dan hubungannya dengan Islam.
Urutan peristiwa yang umum diterima adalah bahwa klaim kelompok Muhajirun lebih
kuat daripada klaim kelompok anshar. Riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa
kelompok anshar menuntut adanya pemimpin (amir)
dari dua kelompok yang berbeda ini, menunjukkan bahwa mereka khawatir mengenai
resiko adanya pemerintahan yang terkonsolidasikan, daripada sekedar reaksi
penolakan terhadap Abu Bakar atau semacamnya. Fakta ini akan relevan untuk
memahami alasan pemberontakan suku-suku Arab lain yang ditumpas melalui perang riddah yang akan kita diskusikan berikut
ini. Ketika isu pertama ini terselesaikan, Abu bakar memiliki pengaruh yang
lebih kuat di kalangan muslim Mekah saat itu daripada calon lainnya, hingga
Umar menyebutnya "kebetulan
yang tak terrencanakan" (falta). Hal
penting yang selalu menjadi kontroversi dalam proses ini adalah sebagian ummat
Islam saat itu, yang kemudian dikenal sebagai kelompok pendukung Ali (shi'at)
terus menentang validitas kemenangan Abu Bakar atas Ali. Hal yang lebih
signifikan kita bahas dalam perbicangan kita saat ini adalah bahwa perbedaan
alasan pemilihan pengganti Nabi dan kriteria pemilihan memiliki konsekuensi
yang luar biasa terhadap watak negara sebagai institusi politik. Masalah yang
berkaitan dengan posisi khalifah dan hubungannya dengan masa Nabi terus
memiliki konsekuensi yang besar bagi watak negara itu sendiri. Sekarang saya
akan membahas permasalahan ini melalui analisis terhadap perang orang-orang
murtad dan pentingnya peran peristiwa ini dalam pembentukan watak negara
sebagai institusi politik.
Perang terhadap
orang-orang murtad merupakan krisis pertama yang dihadapi oleh pemerintahan
yang baru setelah meninggalnya Nabi Muhammad. Saat itu, Abu Bakar harus
memperlihatkan otoritas negara terhadap sejumlah suku Arab yang jelas-jelas
menolak otoritas tersebut. Ummat Islam umumnya percaya bahwa Abu Bakar
melaksanakan perang itu karena suku-suku itu telah murtad dengan mengikuti Nabi
Palsu atau karena menolak membayar zakat. Namun kedua jenis resistensi ini
ditumpas dengan menggunakan kekuatan atas nama negara. Fase ini biasanya sangat
dibanggakan oleh kalangan sunni sebagai prestasi terbesar Abu Bakar yang
membuktikan keabsahan pemilihannya sebagai khalifah pertama. Setelah
konsolidasi kekuasaan politik di seluruh semenanjung Arab tercapai, barulah
ekspansi ke Kerajaan Byzantium dan Sasanid dimulai.
Saya tidak tertarik
dengan pandangan dominan itu, ataupun untuk menilai apakah tindakan Abu bakar
untuk menyulut perang itu salah atau benar. Saya malah tertarik untuk melihat
makna atau signifikansi episode itu dalam membentuk watak negara pada saat itu.
Keputusan Abu Bakar untuk memerangi suku-suku itu agar mereka taat pada
otoritasnya sebagai khalifah diperlihatkan dalam pernyataannya mengenai zakat
yang sangat terkenal: "aku bersumpah demi Tuhan, jika mereka menolak untuk
memberikan meski hanya sekerat daging unta yang dulu pernah diberikan kepada
Nabi, saya akan bertarung dengan mereka karenanya." Apa sebetulnya alasan
sikap ini? mengapa tindakan ini diinterpretasi sebagai sebuah bukti bahwa
dialah khalifah pengganti Rasulullah? Apakah cara keputusan untuk memerangi
suku-suku Arab itu dibuat, alasan yang melatarbelakanginya, maupun peristiwa
yang berkaitan dengan peristiwa itu mengindikasikan adanya model penyatuan
antara kepemimpinan agama dan politik dalam Islam atau tidak? Jika ya, apa yang
sejarah katakan pada kita tentang kesulitan dan kontradiski yang terdapat dalam
pandangan semacam itu?
Sebagai contoh,
pembedaan bisa dibuat antara dua kelompok besar yang diperangi oleh Abu Bakar
yaitu mereka yang menolak untuk membayar zakat kepada Khalifah dan mereka yang
mengabaikan Islam karena mengikuti Nabi Palsu. Bisa juga kita berargumen bahwa
Abu Bakar menganggap penolakan untuk membayar zakat ke kas negara sama dengan
murtad, sehingga pelakunya bisa dihukum mati. Namun, kita bisa juga melihat
penolakan itu sebagai pemberontakan terhadap otoritas negara sebagai institusi
politik yang keberadaannya bisa dijaga dengan kekuatan militer. Dengan
mengatakan demikian, saya tidak bermaksud untuk bisa menyelesaikan kontroversi
yang berlarut-larut, kompleks dan terus menimbulkan kemarahan bahkan hingga
abad kedua dalam sejarah Islam ini. Saya hanya ingin merefleksikan implikasi
kontroversi itu pada watak negara pada masa awal Islam tersebut, terlepas dari
apa yang orang pikirkan tentang apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar.
Sebagai contoh, saya ingin mengajukan pertanyaan: apakah usaha yang dilakukan
Abu Bakar untuk menerapkan kewajiban zakat atau memerangi orang murtad
merupakan caranya untuk memperlihatkan otoritas politiknya sebagai khalifah?
apakah ia menjadi khalifah karena otoritas keagamaan yang dimilikinya di
kalangan ummat Islam saat itu?
Beberapa pertanyaan
menyangkut peristiwa itu masih tak terjawab sampai saat ini. Misalnya, apakah
zakat itu dibayarkan secara sukarela pada masa Nabi dan apakah zakat itu
diserahkan ke Madinah atau digunakan untuk kepentingan masyarakat lokal?
Pertanyaan-pertanyaan itu hanya sebagian dari pertanyaan yang terus dihindari
oleh sejarawan. Ada satu bukti yang menunjukkan bahwa pada masa Nabi, zakat
bukanlah persyaratan yang universal dan harus dipenuhi untuk menjadi seorang
Muslim, dan bahwa Nabi menerima perpindahan seseorang dari agama lain tanpa
syarat-syarat pembayaran. Disebutkan pula bahwa nisab zakat belum dikodifikasi
hingga masa Khalifah Abu Bakar. Bukti yang ada menunjukkan bahwa Nabi tidak menggunakan
kekerasan dalam mengumpulkan zakat.[3]
Beberapa sahabat terkemuka seperti Umar dan Abu Ubaidah memperingatkan Abu
Bakar supaya "menghapuskan pajak untuk tahun tersebut dan memperlakukan
suku-suku yang loyal kepada Islam dengan lunak agar mereka memberikan dukungan
kepadanya dalam melakukan tindakan terhadap mereka yang mengabaikan
Islam".[4]
Sahabat lain seperti Ali bahkan tidak berpartisipasi dalam kampanye tersebut.
Adanya ketidaksepakatan sahabat terhadap masalah tersebut merupakan hal yang
penting bagi kita untuk memahami dasar keputusan Abu Bakar dan implikasinya
terhadap watak negara pada saat itu.
Hal kontroversial lain
yang terjadi pada saat itu adalah keputusan Abu Bakar untuk menunjuk kalangan
aristokrat Mekah sebagai komandan dalam perang riddah, padahal mereka baru masuk Islam setelah bertahun-tahun
memusuhi dan menolak pesan-pesan kenabian.[5]
Keputusan itu memperlihatkan sisi politis kampanye yang dilakukan Abu Bakar
karena "penyerahan zakat bisa berarti tanda penyerahan otonomi kesukuan,
penerimaan terhadap pajak resmi sekaligus pengakuan terhadap hak negara untuk
memaksa pihak-pihak yang membangkang serta ketundukkan suku tersebut terhadap
penguasa atau pemerintah. Hal-hal
tersebut, justru yang selama ini selalu ditentang oleh mereka.[6]
Apreasiasi terhadap ketegangan dan ketakutan suku-suku Arab yang menghadapi
transformasi drastis dalam lembaga dan hubungan sosial dan politiknya lah yang
barangkali menyebabkan Nabi tidak pernah tertarik untuk menggunakan kekuatan.
"Ketika pemimpin pemberontakan suku itu tertangkap kemudian dihadapkan
kepada Bakar dan didakwa dengan vonis murtad, mereka membela diri dengan
mengatakan bahwa dengan melakukan tindakan perlawanan itu mereka tidak
bermaksud menjadi orang kafir, melainkan karena mereka tidak mau menyerahkan
kekayaan mereka."[7]
Peristiwa lain yang menyebabkan kontroversi adalah
perintah Abu Bakar terhadap Khalid bin al-Walid untuk membunuh Malik bin
Nuwayra dari Bani Yarbu, suku Arab yang menjadi anggota federasi Bani Tamim.
Perintah ini muncul karena Malik bin Nuwayra menolak untuk menyerahkan sejumlah
unta yang pernah dia kumpulkan untuk diberikan sebagai zakat kaumnya kepada
Nabi. Walaupun Malik menyatakan kesetiannya kembali kepada Islam, ia
bersama-sama dengan anggota suku lainnya tetap dibunuh oleh Khalid. Khalid
kemudian mengambil istri Malik dan nampaknya memperlakukannya sebagai
"rampasan perang".[8]
Para sahabat terkemuka mengecam perbuatan Khalid. Bahkan
Umar menuntut khalifah memecatnya dan Ali menetapkan hukuman had terhadapnya karena Khalid dianggap
telah melakukan zina (dengan mengambil paksa istri Malik),[9] Namun Abu bakar sebagai Khalifah tidak mengabulkan kedua
permintaan itu.[10] Tuntutan-tuntutan itu akan nampak tidak masuk akal jika
kita memahami keputusan Abu Bakar sebagai bagian dari otoritas keagamaan yang
dimilikinya dari Nabi karena para Sahabat terkemuka, tentu, tidak akan
berselisih dengannya, karena mereka memahami bahwa keputusan Abu Bakar itu
bersifat mengikat dan merupakan bagian dari ajaran Islam. Tetapi sebaliknya,
walaupun para sahabat tidak sepakat dengan Abu Bakar, mereka tidak berbuat
sekehendak hatinya untuk mewujudkan apa yang mereka anggap benar, mungkin
karena mereka menghormati otoritas politik Abu Bakar sebagai khalifah.
Ulama-ulama zaman berikutnya seperti al-Syafi'i, al-Khttabi, Ahmad bin Handal
dan Ibnu Rajab menyikapi situasi itu secara berbeda-beda, baik dengan
memberikan analisis tekstual terhadap hadits maupun sekedar berapologi.[11] Barulah kemudian pada masa-masa berikutnya Ibnu Arabi
menjustifikasi keputusan Abu Bakar dengan memberikan alasan umum bahwa Abu
Bakar memang harus melakukan hal tersebut. Karena jika tidak, suku-suku
pemberontak itu akan mendapatkan kekuasaan dan terus memberontak. Penjelasan
terakhir inilah yang kemudian menjadi pemahaman terhadap sejarah Islam yang
paling populer di kalangan sunni.
Karena saya tidak bermaksud untuk menilai salah atau
benarnya fakta sejarah tersebut, saya ingin kita melihat ketidakjelasan dan
resiko penggunaan kekuasaan kursif negara untuk
mengimplementasikan pendapat seseorang tentang agama. Ketidakjelasan ini
bisa diklarifikasi jika kita memahami isu tersebut dalam konteks peran Abu
Bakar sebagai pemimpin politik dan bukan sebagai pemimpin agama. Cara pembacaan
ini mungkin tidak konsisten dengan motivasi Abu bakar yang mungkin saja
religius, karena ia percaya bahwa ia sedang mempertahankan Islam pada saat itu,
dan bukan sekedar menjaga integritas negara sebagai institusi politik. Bahkan
mungkin dia belum mengerti apa yang dimaksud negara dalam konteks pembicaraan kita.
Di samping itu, kerelaan para sahabat untuk tunduk pada keputusan Abu Bakar
meskipun mereka yakin bahwa keputusan itu keliru mungkin juga dimotivasi oleh
oleh faktor-faktor politik, terutama kebutuhan untuk mengkonsolidasi dan
mengamankan komunitas selama periode-periode kritis itu. Namun alasan religius
juga bisa dikemukakan untuk memperkuat faktor-faktor tersebut seperti Qs, 4: 59
yang biasa digunakan untuk menuntut ketaatan ummat Islam terhadap Allah,
Rasul-Nya dan penguasa. Dengan kata lain, seorang muslim memiliki kewajiban
untuk menaati khalifah, walaupun ia berpikir bahwa khalifah itu keliru. Namun
kemudian kewajiban ini bisa berbenturan dengan kewajiban muslim untuk
menegakkan keadilan dan melawan kemunkaran (al-amr
bil ma'ruf wa l-nahy an al-munkar). Dikatakan juga dalam sunnah bahwa tidak
ada seorang manusia pun yang harus taat pada perintah untuk melakukan maksiat
kepada Allah (la ta'ata li makhluq fi
ma'siyat al-khaliq).
Dengan demikian, dengan justifikasi apapun, nampaknya
memisahkan agama dari politik tetap merupakan hal yang sulit: ummat Islam akan
selalu tidak sepakat dengan dua hal tersebut dan alasan-alasan keagamaan selalu
berisi pertimbangan-pertimbangan politik dan sebaliknya. Terkait dengan perang
terhadap orang-orang murtad, mungkin saja tindakan yang dilakukan Abu Bakar itu
sah dalam pandangan Islam karena keputusannya berdasarkan alasan bahwa mereka
sudah murtad atau memberontak terhadap negara. Kedua hal ini merupakan
kejahatan besar (hadd al-haraba dalam
Qs. 5:33-34) dan pelakunya layak mendapatkan hukuman mati. Apapun alasannya dan
meskipun ada sejumlah keberatan dari para sahabat yang lain, Abu bakar tetap
bisa menjalankan keputusannya karena ia seorang khalifah, tapi bukan karena ia
memiliki keputusan yang benar atau tepat dalam kacamata Islam. Ini bukan
berarti Abu Bakar benar atau salah, tapi karena tidak ada otoritas yang
independen yang bisa menyelesaikan atau memediasi ketidaksepahamannya dengan
sahabat lain. Dengan kata lain, jika saja Umar atau Ali yang menjadi khalifah
tentu hasilnya akan sangat berbeda.
Kesimpulannya bagi kita adalah membedakan antara
pandangan keagamaan Abu Bakar dengan keputusan dan tindakan politiknya sebagai
khalifah mungkin bisa membnatu. Pembedaan ini pub bisa berguna dalam memahami
beberapa sahabat besar yang tidak setuju dengan Abu Bakar karena mereka juga
bisa memiliki alasan keagamaan dan politis. Pembedaan ini perlu dipertahankan
tanpa melihat motivasi keagamaan Abu Bakar atau sahabat lain, karena tindakan
seseorang tidak bisa ditentukan oleh motivasinya. Pembedaan seperti itu mungkin
masih sulit diterapkan oleh ummat Islam untuk membaca sejarah periode Madinah
karena, pada saat itu, sifat otoritas politiknya yang masih personal dan negara
masih belum dianggap sebagai sebuah institusi politik. Kesulitan itu juga bisa
karena berbagai faktor termasuk masih barunya contoh yang ditinggalkan Nabi,
keterbatasan pendirian negara di daerah Arab pada saat itu dan cara keempat
khalifah itu terpilih dan menjalankan kekuasaannya. Intinya, apapun pandangan
terhadap peristiwa-peristiwa itu, ketidakjelasan seperti itu tidak bisa bisa
dijustifikasi maupun diterima dalam konteks negara post kolonial model Eropa
saat ini.
Ketidakjelasan otoritas politik dan agama seorang
khalifah memang sudah tidak bisa lagi dipertahankan setelah pembunuhan Ali dan
permulaan berdirinya negara Umayah. Walaupun Umayah berbentuk monarki, namun ia
masih berusaha untuk mempertahankan kesan bahwa otoritas khalifah merupakan
perpanjangan dari otoritas Nabi. Gelar-gelar yang dipakai oleh
khalifah-khalifah dinasti Umayyah seperti khalifat
allah, amin allah, na'ib allah menunjukkan besar dan
agungnya otoritas keagamaan yang dimiliki khalifah. Gelar-gelar tanda otoritas ini selalu
diumumkan menjelang pelaksanaan khutbah jum'at di semua wilayah yang mereka
kuasai. Namun, legitimasi keagamaan terhadap Muawiyah, pendiri dinasti ini,
tidak hanya diperlemah oleh konfrontasinya dengan Ali yang berakhir dengan
terbunuhnya keponakan Nabi itu, namun juga oleh upaya-upaya lunak dan keras
yang dilakukannya untuk memuluskan pemilihan Yazid sebagai penerusnya, padahal
Yazid tidak memiliki kualifikasi untuk menjadi khalifah. Karena Yazid
menghadapi ancaman semakin tingginya tingkat pemberontakan dan kekacauan yang
ditujukan untuk menggoyang otoritas dan legitimasinya sebagai penguasa muslim,
ia pun terpaksa menggunakan kekerasan untuk menekan pihak-pihak yang
membangkang. Sayangnya, tindakan ini malah semakin mengurangi kualifikasinya
yang tidak bagus. Dalam upayanya menekan pemberontakan-pemberontakan yang
terjadi, ia memerintahkan untuk membunuh Husain bin Ali, cucu Nabi, keluarga
dan kelompok pendukungnya di Karbala. Pada saat yang sama, sekitar tahun 681 M,
Abdullah bin Zubair, cucu Abu Bakar dan anak seorang sahabat terkemuka lainnya,
dan pendukungnya muncul dengan pemberontakan lain dan ia mengklaim dirinya
sebagai khalifah di Mekah dan Madinah. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh
tentara dinasti Umayah selama 10 tahun. Mekah dan Madinah, bahkan Ka'bah,
hancur karena proses penumpasan itu. Krisis ini terus berlanjut selama delapan
dekade pemerintahan dinasti Umayah dan setelahnya.[12]
Paradoks permanen yang dihadapi oleh dinasti Umayah dan
rezim sesudahnya adalah karena mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka
untuk mendapatkan legitimasi keagamaan dengan berusaha mereflikasi model
pemerintahan Nabi atau pemerintahan Khulafa al-Rasyidun di Madinah. Ironisnya,
masalah ini diperparah oleh keinginan penguasa untuk mengkonsolidasikan
kekuatannya terhadap masyarakat, yang justru malah melemahkan legitimasi
keagamaan yang mereka miliki. Revolusi Abbasiyah sukses menentang dinasti
Umayah karena mereka menyatakan bahwa dinasti itu tidak memiliki legitimasi
keagamaan dan mereka mengklaim bisa mendirikan sistem yang ideal bagi ummat
Islam. Namun, jelas kemudian bahwa kekhalifahan sudah terlembagakan menjadi
dinasti kerajaan yang penguasanya dipilih berdasarkan garis keturunan, yang
tidak lebih merupakan adaptasi dari model monarkinya dinasti Sasanid dan
Byzantium.[13]
Kerajaan-kerajaan Arab yang bermunculan, keberadaannya
relatif tidak terlalu pelik, karena aparatur negara dan penerusnya biasanya
mengadopsi struktur dinasti Sasanid dan Byzantium dan sering terus mempekerjakan pejabat yang sama dengan rezim yang
sebelumnya. Untuk mempertahankan legitimasi keagamaannya, khalifah-khalifah
dinasti Abbasiyah, terutama yang berkuasa pada periode-periode awal, sering
memposisikan diri mereka sebagai kurator ilmu-ilmu agama dan menjadi partisipan
dalam upaya interpretasinya.[14] Ironisnya,
mereka membuat atau memunculkan ekspektasi itu dengan mendasarkan klaim
kekuasaan mereka pada hubungan kekerabatannya dengan Nabi, sehingga mereka
dianggap layak untuk mempraktikkan kembali modelnya. Khalifah-khalifah periode
awal dinasti Abbasiyah berusaha untuk mempertahankan kesatuan kepemimpinan
agama dan politik dengan menunjuk hakim (qadi),
menguasai lembaga dan ilmu agama, sekaligus memerankan diri sebagai pertahanan
militer kerajaan Islam. Namun usaha-usaha untuk menegakkan model penyatuan
antara otoritas politik dan negara menjadi tidak berguna, karena adanya
beberapa peristiwa tragis yang kemudian dikenal sebagai mihnah.
Implikasi Mihnah terhadap Otoritas dan
Institusi Politik dan Agama
Ketidaksesuaian antara cita ideal Islam untuk menyatukan
kepemimpinan agama dan politik dengan realitas empiris sejarah ummat Islam
mulai jelas, bahkan sebelum pemberontakan Khawarij dan Syi'ah. Masalah-masalah
politik yang dihadapi oleh Khulafaurrasyidun di Madinah merupakan bukti yang
jelas bahwa struktur ideal yang diperintahkan oleh Nabi tidak cocok untuk
direplikasi. "Secara implisit, keberadaan para pemberontak merupakan tanda
kemunculan kelompok ummat Islam yang memisahkan diri dari otoritas dan
kepemimpinan khalifah."[15] Tumbuhnya sejumlah sekte seperti Qadiriyah, Murjiah, dan
lainnya menentang mitos tentang kesatuan Islam. Apalagi, jika mempertimbangkan
kemunculan peristiwa drastis yang lebih dikenal sebagai mihnah melalui
perspektif sejarah sosial. Konflik antara otoritas khalifah dan ulama harus
dilihat dalam konteks relasi sosial antara 3 kelompok yaitu: elite Bangsa Arab
yang mewakili Istana Khalifah dan aparat administratifnya, para pemimpin agama,
serta keturunan pemberontak Bangsa Khurasan yang mengawali kesuksesan revolusi
Abbasiyah.
Penting juga untuk membedakan antara kekhalifahan ideal
dengan realitasnya pada masa Abbasiyah. Ia merupakan sebuah pencampuran hibrid
antara Kerajaan Timur Tengah (Sasanid dan Byzantium) Pra Islam dan
universalisme Islam. Para khalifah berusaha untuk mengkombinasikan otoritas
keagamaan sebagai penerus Nabi dengan bentuk kerajaan dan otoritas kelembagaan
serta budaya ala Kerajaan Timur Tengah. Kecendrungan ini terlihat jelas dalam
patronase dinasti Umayyah terhadap artistik, arsitektur dan perayaan ala
Byzantium di Istana kerajaan" dan dalam proyek kerajaan yang lain, serta
gaya ekspansi mereka yang kasar. Sementara itu, dinasti Abasiyyah meniru model
Persia dengan berpatron pada khazanah literature dinasti Pahlavi dan filsafat
Hellenistik."[16] Sebagai respon, para ulama periode awal menunjukkan adanya
keterputusan antara cita ideal dan realitas, dan meragukan klaim otoritas para
khalifah untuk menginterpretasikan atau mengelaborasi syariah. Klaim ini
merefleksikan fakta bahwa ulama memiliki pengaruh yang lebih besar di kalangan
ummat Islam daripada para khalifah. "Dengan demikian, independensi
otoritas keagamaan dari kekuasaan khalifah berkembang bersamaan dengan
munculnya kelompok-kelompok sektarian dalam ummat Islam. Dari sudut pandang
komunal keagamaan, kekhalifahan dan Islam tidak lagi terintegrasikan."[17] Kemunculan otoritas keagamaan yang independen dari
khalifah dan aparat negara inilah, yang disebut Lapidus sebagai pembedaan
antara otoritas politik dan agama dalam sejarah masyarakat Islam.
Apa yang disebut mihnah
adalah inkuisisi teologis yang bertujuan untuk membuat anggota kelompok
ulama, yang pada saat itu merupakan sebuah kelompok yang bersatu tanpa tujuan
tertentu, menyetujui sikap yang diambil oleh kalangan Mu'tazilah bahwa
al-Qur'an adalah ciptaan Allah dan dengan demikian ia adalah atribut dan bukan
kata-kata yang tidak diciptakan oleh-Nya. Isu ini merupakan bagian dari debat
yang berkelanjutan antara kelompok yang lebih menyukai pendekatan yang lebih
alegoris dan rasional terhadap sumber-sumber Islam (Mu'tazilah) dengan kelompok
lain (ahl-alhadits dan Asy'ariah) yang menganut pendekatan tekstual terhadap
teks. Dalam konteks itulah, Khalifah al-Ma'mun melaksanakan inkuisisi pada
tahun 833 M (218 H) untuk memaksa ulama tertentu agar mengadopasi pandangan
mu'tazilah. Walaupun setelah al-Ma'mun wafat, inkuisisi masih berlanjut hingga
masa tiga khalifah setelahnya selama 16 tahun. Khalifah al-Mutawakkil
mengakhiri hukuman itu dengan melepaskan para ulama yang tidak tunduk pada
kebijakan khalifah sebelumnya dari penjara dan menempatkan beberapa orang
diantaranya dalam pemerintahannya.
Al-Ma'mun berkuasa setelah memenangkan perang sipil
dengan saudaranya al-Amin. Baik al-Ma'mun maupun al-Amin merupakan anak dari
Khalifah Harun al-Rasyid. Secara mengejutkan, al-Ma'mun menunjuk Imam al-Rida,
Imam kedelapan dalam rangkaian imamah syi'ah dua belas, sebagai penggantinya.
Ini merupakan upayanya untuk menenangkan pemberontakan Syi'ah yang terus
berlanjut pada saat itu, atau untuk mengembalikan kekhalifahan pada formulasi
orisinalnya sebagai lembaga keagamaan dan politik. Ia juga mengadopsi warna
hijau Syi'ah untuk atribut pasukannya. Namun dua keputusan itu dibatalkan
segera setelah al-Rida wafat secara misterius. Saat al-Ma'mun kembali ke
Baghdad yang saat itu sedang dilanda kekacauan, ia berusaha untuk memaksakan
teologi tertentu kepada masyarakat, yang akhirnya bukan menambah kekuatannya,
malah membuat habis otoritas kekhalifahahannya. Kekacauan parah yang terjadi di
Baghdad diakibatkan oleh adanya kompetisi sejumlah kelompok untuk mendapatkan
kekuasaan dan juga tentara yang marah dan tidak
puas. Situasi ini diperparah dengan adanya geng kriminal dan penjahat.
Kekacauan ini berakhir dengan munculnya sejumlah gerakan yang semakin
mengukuhkan fakta bahwa penyatuan kepemimpinan agama dan politik tidak lagi
relevan untuk dipraktikkan.
Sebagai contoh, Sahl bin Salama al-Ansari, penduduk
Baghdad "yang memakai salinan
al-Qur'an di lehernya dan menyeru orang-orang untuk melakukan 'amar ma'ruf nahyi munkar', berhasil
menarik sejumlah pengikut dari seluruh penjuru kota yang berasal dari latar belakang yang
berbeda. Ia juga menyeru pengikutnya untuk tidak hanya mempertahankan
lingkungannya dengan menyediakan keamanan dan stabilitas bagi tempat tinggal
mereka, namun juga mengimplementasikan ajaran al-Qur'an dan Sunnah yang dibawa
oleh Nabi. Sahl menggambarkan kepatuhan pada prinsip yang lebih tinggi yang
memberikan justifikasi untuk melawan khalifah dan otoritas negara yang gagal
untuk menegakkan Islam. Ia menyeru bahwa kepatuhan kepada al-Qur'an dan Sunnah
harus mengalahkan ketaatan kepada otoritas yang gagal menegakkan Islam."[18] Ia mengadopsi slogan 'tidak ada ketaatan kepada makhluk
bila untuk melakukan ma'siat kepada Allah' (la
ta'ata li makhluq fi ma'siat al-khaliq). Pengikutnya di berbagai penjuru
kota membangun menara di depan rumah mereka yang berfungsi membentengi mereka
dalam kota."[19] Dengan demikian, organisasi berbasis komunitas yang
dibangun Sahl mewakili kemunculan spontan sebuah pemerintahan bersifat
keagamaan yang militan dan menolak otoritas khalifah secara terbuka.
[1] Ira M. Lapidus, “State and Religion in Islamic Socieites,” Past and Present, No. 151 (May, 1996), p. 4.
[2] Untuk review terhadap sejarah masa awal yang otoritatif dan
mengutip sumber-sumber Arab lihat Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization,
vol. 1, The Classical Age of Islam, Chicago: University of Chicago Press
1974, pp. 187-230; Wilfred Madelung, The Succession of Muhammad: A Study of the
early Caliphate, Cambridge: Cambridge University Press, 1997; and Ira M.
Lapidus, A History of Islamic Societies,
2nd edition, Cambridge: Cambridge University Press 2002.
[3] Madelung, The Succession to
Muhammad, 46- 47.
[4] Madelung, The Succession to
Muhammad, 48, note 55.
[5] Fred M. Donner, The Early
Islamic Conquests, Princeton: Princeton
University Press, 1981,
86-87
[6] Madelung, The Succession to Muhammad, 47.
[7] M. J. Kister, “…illa
bi-haqqihi” Jerusalem Studies in
Arabic and Islam, no. 8, pp. 61-96, 1986, p. 35, n. 8 mengutip al-Shafi’i
“…wa-qalu li-abi bakrin ba’da l-isari: ma
kafarna ba’da imanina wa-lakin shahana ‘ala amwalina…”
[8] Untuk beberapa versi kisah ini, lihat EI (Encyclopedia of Islam): Malik b. Nuwayra and Khalid b. Walid.
[9] Madelung, Succession to
Muhammad, 50, Catatan Kaki 60, mengatakan bahwa penyebutan Malik b. Nuwayra
sebagai pengikut nabi palsu dari Najd, Sajah, adalah rekayasa. Ia juga mencatat
bahwa Umar pasti tindakan menyatakan keberatan atas perilaku Khalid, jika ia
menganggap Malik sudah murtad.
[10] Syed H.M. Jafri, The Origins
and Early Development of Shi’a Islam, Oxford :
University Press, 2000, 58-79.
[11] Kister, “…illa bi-haqqihi”,
36-37.
[12] P. Crone and M. Hinds, God’s
Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam, London : Cambridge
University Press, 1986. 12.
[13] Lapidus, A History of Islamic Societies, 58-66.
[14] Muhammad Qasim Zaman, Religion
and Politics under the Early ‘Abbasids: The Emergence of the Proto-Sunni Elite,
Leiden : Brill,
1997, 129-166.
[15] Ira Lapidus, “The Separation of State and Religion in the
Development of Early Islamic Society”, International
Journal of Middle East Studies, vol. 6,
1975, 366.
[16] Lapidus, “State and Religion”, 9-10.
[17] Lapidus, “The Separation” 369.
[18] Lapidus, “The Separation”, p. 372.
[19] Lapidus, “The Separation”, p 373.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar