Label

Selasa, 04 Februari 2014

Uang dalam Teori Moneter Islam

Dasar pemikiran dari manajemen moneter dalam konsep Islam adalah terciptanya stabilitas permintaan uang dan mengarahkan permintaan uang tersebut kepada tujuan yang penting dan produktif. Sehingga, setiap instrument yang akan mengarahkan kepada instabilitas dan pengalokasian sumber dana yang tidak produktif akan ditinggalkan.

Dalam teori Keynes telah dikenal bahwa adanya permintaan spekulatif akan uang pada dasarnya dipengaruhi oleh keberadaan suku bunga (the theory of liquidity preference). Semakin tinggi permintaan uang untuk spekulasi, maka semakin rendah tingkat bunga yang berlaku di pasar. Begitu juga sebaliknya, apabila permintaan uang spekulatif menurun, maka suku bunga akan relative meningkat.1

Dalam Islam fungsi permintaan uang hanya dikenal dua motif saja yaitu motif transaksi dan berjaga-jaga. Karena perbuatan yang mengarah kepada motif spekulasi dilarang dalam Islam, maka instrument moneter yang ada dihindarkan dari penggunaan variabel yang akan mengarahkan kepada motif spekulasi.

Keberadaan instrument pengganti suku bunga diarahkan penggunaannya terhadap uang yang memiliki tujuan yang bersifat penting dan mendesak serta investasi yang produktif dan efisien. Walaupun ada persamaan dalam motif untuk memegang uang, namun penggunaan variabel penjelas yang digunakan di antara moneter Islam dan konvensional adalah berbeda.2

1. Pengertian uang


Secara etimologi, definisi uang (al-naqdu) memiliki beberapa makna, yaitu yang baik, meraih, menggenggam, menerima, tunai.3 Adapun definisi uang menurut ahli ekonomi, diantaranya adalah:
  • Muhammad Zaki Syafi’I mendefinisikan uang sebagai “segala sesuatu yang diterima khalayak untuk menunaikan kewajiban-kewajiban”
  • Sedangkan J.P Coraward mendefinisikan uang sebagai segala sesuatu yang diterima secara luas sebagai media pertukaran, sekaligus berfungsi sebagai standar ukuran nilai harga dan media penyimpan kekayaan.
  • Boumul dan Gandlre berkata ”Uang mencangkup seluruh sesuatu yang diterima secara luas sebagai alat pembayaran, diakui secara luas sebagai alat pembayaran utang-utang dan pembayaran harga barang dan jasa”
  • Dr. Nazhim al-Syamry berkata :”setiap sesuatu yang diterima semua pihak dengan legalitas tradisi atau Undang-undang, atau nilai sesuatu itu sendiri, dan mampu berfungsi sebagai media dalam proses transaksi pertukaran yang beragam terhadap komodiri jasa, juga cocok untuk menyelesaikan utang piutang dan tanggungan adalah termasuk dalam lingkup uang”
  • Menurut Sahir Hasan, “Uang adalah pengganti materi terhadap segala aktivitas ekonomi, yaitu media atau alat yang memberikan kepada pemiliknya daya beli untuk memenuhi kebutuhannya, juga dari segi peraturan perundangan menjadi alat bagi pemiliknya untuk memenuhi segala kewajibannya”
  • Ismail Hasyim berkata : “Uang adalah sesuatu yang diterima secara luas dalam peredaran, digunakan sebagai media pertukaran, sebagai standar ukuran nilai harga, dan media penyimpan nilai, juga digunakan sebagai alat pembayaran untuk kewajiban bayar yang ditunda”
Dari sekian definisi yang diutarakan, maka dapat dibedakan dalam tiga segi. Pertama, definisi uang dari segi fungsi-funsi ekonomi sebagai standar ukuran nilai, media pertukaran, dan alat pembayaran yang tertunda (deferred payment). Kedua, definisi uang dengan melihat karakteristiknya, yaitu segala sesuatu yang diterima secara luas oleh tiap-tiap individu. Ketiga, definisi uang dari peraturan perundangan sebagai segala sesuatu yang memiliki kekuatan hukum dalam menyelesaikan tanggungan kewajiban.4

2. Fungsi uang

Pada dasarnya, ada dua fungsi penting dari uang, yaitu sebagai alat pertukaran (transaksi) dan alat ukur nilai, berikut penjelasannya:

  • Uang sebagai alat pertukaran (transaksi)

Uang menjadi media transaksi yang sah yang harus diterima oleh siapa pun bila ia ditetapkan oleh Negara. Inilah perbedaan uang dengan media transaksi lain seperti cek. Berlaku juga cek sebagai alat pembayaran karena penjual dan pembeli sepakat menerima cek sebagai alat bayar. Begitu pula dengan kartu debet, kartu kredit dan alat bayar lainnya.

Pihak yang dibayar dapat saja menolak penggunaan cek atau kartu kredit sebagai alat bayar sedangkan uang berlaku sebagai alat pembayaran karena negara mensahkannya.5 Umar bin Khattab r.a berkata, “Saat aku ingin menjadikan uang dari kulit unta, ada orang yang berkata,’kalau begitu unta akan punah’, maka aku batalkan keinginan tersebut.” Sebaliknya, emas dan perak tidak serta merta menjadi uang bila tidak ada stempel (sakkah) negara. Imam Nawawi berkata “Makruh bagi rakyat biasa mencetak sendiri dirham dan dinar, sekalipun dari bahan yang murni, sebab pembuatan tersebut adalah wewenang pemerintah.

Kemudian apabila dirham magsyusah tersebut dapat diketahui kadar campurannya, maka boleh menggunakannya baik dengan kebendaannya maupun dengan nilainya. Adapun jika kadar campuran tersebut tidak diketahui, maka di sini ada dua pendapat. Dan pendapat yang paling shahih mengatakannya boleh. Sebab, yang dimaksudkan adalah pelakunya di pasaran. Dan campuran dari tembaga yang terdapat pada dirham tersebut tidak mempengaruhi, sebagaimana halnya adonan.” Imam Malik bin Anas berkata: “Apabila pasar telah menjadikan kulit sebagai mata uang, maka aku tidak senang kulit tersebut dijual dengan emas dan perak.”6
  • Uang sebagai alat ukur nilai

Abu Ubaid menyatakan bahwa dirham dan dinar adalah nilai harga sesuatu, sedangkan segala sesuatu tidak bisa menjadi nilai harga keduanya.7 Imam Ghazali menegaskan bahwa Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah di antara seluruh harta agar seluruh harta bisa diukur dengan keduanya. Dikatakan, unta ini menyamai 100 dinar, sekian
ukuran minyak za’faran ini menyamai 100. Keduanya kira-kira sama dengan satu ukuran, maka keduanya bernilai sama.8

Ibnu Rusyd menyatakan bahwa, ketika seseorang susah menemukan nilai persamaan antara barang-barang yang berbeda, jadikan dinar dan dirham untuk mengukurnya. Apabila seseorang menjual kuda dengan beberapa baju, nilai harga kuda itu terhadap beberapa kuda adalah nilai harga baju itu terhadap beberapa baju. Maka jika kuda itu bernilai 50, tentunya baju-baju itu juga harus bernilai 50.

3. Jenis uang

Uang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu:

a. Uang tanda/kertas (token money)

Ketika uang logam masih digunakan sebagai uang resmi dunia, ada beberapa pihak yang melihat peluang meraih keuntungan dari kepemilikan mereka atas emas dan perak. Pihak-pihak ini adalah bank, orang yang meminjamkan uang dan pandai emas (goldsmith) atau toko-toko perhiasan. Mereka melihat bukti peminjaman, penyimpanan atau penitipan emas dan perak di tempat mereka juga bisa diterima di pasar.

Berdasarkan hal ini, pandai emas dan bank mengeluarkan surat (uang kertas) dengan nilai yang besar dari emas atau perak yang dimilikinya. Karena kertas ini didukung oleh kepemilikan atas emas dan perak, masyarakat umum menerima uang kertas ini sebagai alat tukar. Jadi aspek penerimaan masyarakat secara luas dan umum berlaku, sehingga menjadikan uang kertas sebagai alat tukar yang sah. Ini kemudian berlanjut sampai uang kertas menjadi alat tukar yang dominan, dan semua sistem perekonomian menggunakannya sebagai alat tukar utama dan uang yang dikeluarkan oleh Bank sentral tidak lagi didukung oleh cadangan emas

b. Uang Giral (Deposit Money)

Uang giral adalah uang yang dikeluarkan oleh bank-bank komersial melalui pengeluaran cek dan alat pembayaran giro lainnya. Uang giral ini merupakan simpanan nasabah di bank yang dapat diambil setiap saat dan dapat dipindahkan kepada orang lain untuk melakukan pembayaran. Artinya, cek dan giro yang dikeluarkan oleh bank mana pun bisa digunakan sebagai alat pembayaran barang, jasa dan utang

c. Uang Kuasi
Uang kuasi adalah surat atau sertifikat berharga yang dapat dijadikan sebagai alat pembayaran yang sah. Misalnya adalah saham dan obligasi.

Footnote
  1. Adiwarman Karim, Ekonomi Makro Islami, h. 195
  2. Ibid, h. 186
  3. Al-Zamakhsyary, Asas al-Balagah, (Beirut: Dar Shadir,1979), h. 650
  4. Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.11
  5. Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, h. 81
  6. Al-Imam Malik, al-Mudawwanah, juz 3 h. 5
  7. Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, al-Amwal, Tahqiq Muhammad Khalil Harras, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h.512
  8. Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Dar-al Khair, cet.2, 1993), 4/347



Tidak ada komentar: