Label

Selasa, 04 Februari 2014

Dinasti Fatimiyah dan Mamluk di Mesir

Peta Timur Tengah

Saya tidak sedang berusaha untuk memaparkan sejarah dinasti Fatimiyah dan Mamluk di Mesir secara umum. Tapi, saya akan memaparkan masing-masing periode dan kemudian menandai aspek-aspek tertentu untuk memberikan ilustrasi mengenai ketidakmungkinan penyatuan antara agama dan negara. Saya mengatakan demikian bukan karena klaim penyatuan itu tidak pernah ada pada masa lalu karena dinasti Fatimiyah jelas-jelas menyatakan bahwa mereka memiliki hak dari Tuhan untuk berkuasa. Namun, jika pun demikian, tidak berarti bahwa klaim itu serta merta menjadi sah atau realistis. Hal yang penting untuk kita catat adalah bahwa klaim seperti itu tidak hanya gagal dalam tingkat praksis, tetapi juga tidak mungkin berhasil karena adanya perbedaan fundamental antara otoritas agama dan negara. Saya harap diskusi kita mengenai Imam-imam Syi'ah Ismailiyah pada bagian awal bab ini (bagian yang membahas dinasti Fatimiyah) bisa menegaskan hal yang saya sebut tadi. Bahaya negara yang berusaha untuk memaksakan otoritas keagamaan, walaupun tidak membuat klaim eksplisit tentang itu, bisa menjadi lebih jelas dalam diskusi kita tentang dinasti Mamluk berikut ini.

Selayang Pandang tentang Dinasti Fatimiyah di Mesir

Dinasti Fatimiyah didirikan pertama kali pada tahun 909 di Afrika Utara (Tunisia sekarang) oleh Ubaidillah yang dianggap sebagai Imam Mahdi oleh pengikut Syi'ah Ismailiyah. Periode dinasti Fatimiyah di Mesir mulai ketika Jauhar, komandan pasukan al-Mu'izz (Imam Syi'ah Dinasti Fatimiyah untuk periode 953-975) menaklukkan negeri itu dan memasuki ibukotanya Fustat pada tahun 969. al-Mu'izz sendiri baru memasuki Mesir 4 tahun berikutnya. Al-Aziz bin al-Mu'izz memerintah dari tahun 975 sampai tahun 996, yang kemudian diikuti oleh al-Hakim yang berkuasa selama 25 tahun (996-1021). Setelah al-Hakim dianggap menghilang, atau menurut riwayat lain dibunuh oleh atas perintah saudara perempuannya, Sitt al-Mulk, anaknya al-Zahir menggantikannya dan memerintah selama 15 tahun berikutnya (1021-1036). Masa pemerintahan al-Mustansir yang cukup panjang (1036-1094) menyaksikan pecahnya perang sipil yang berakhir dengan berkuasanya militer dalam pemerintahan. Sejak saat itu, usaha-usaha yang dilakukan oleh para wazir, hakim, komandan militer, dan gubernur adalah untuk meluaskan kekuasaan mereka melebihi kekuasaan kekhalifahan Fatimiyah sendiri. 75 tahun berikutnya kita menyaksikan munculnya 6 imam yang berbeda, yang otoritasnya terus berkurang di tengah-tengah perpecahan sekte, kup militer dan disintegrasi. Dinasti Fatimiyah berakhir ketika Saladin, Komandan pasukan Bani Ayyub, menduduki kementrian dinasti Fatimiyah dan mengumumkan kesetiaannya kepada Khalifah Abbasiyah di Baghdad pada tahun 1171.

Pencitraan diri dinasti Fatimiyah sebagai kekhalifahan dan institusi imamah yang sah merupakan tanda untuk menegaskan keberlanjutan otoritas politik dan spiritual yang dimiliki Nabi karena baik syi'ah Imamiyah maupun syi'ah Ismailiyah mengidentifikasi bahwa kepala negara yang sah adalah wakil Tuhan di muka bumi."[1] Kualitas yang harus dicapai seorang imam agar bisa dianggap memiliki otoritas ketuhanan tidak bisa dianggap remeh. Seorang Imam harus menjadi a'immat al-huda, imam keadilan yang bisa menjauhkan ummat dari siksaan", "suar kebenaran dan pedoman… yang bersinar seperti matahari dan bercahaya seperti bintang, dan menjadi pilar agama, rizki dan kehidupan manusia."[2]  Bagi orang awam, imam adalah sosok yang sempurna dalam pelaksanaan shalat, zakat, puasa, ibadah haji dan jihad, mendapatkan bagian lebih dari ghanimah dan zakat, dan memutuskan pelaksanaan hudud…pendek kata, ia lebih dari siapapun kecuali Nabi."[3] Karena imam juga dianggap mendapatkan posisi istimewa dalam bidang keilmuan, maka seorang imam juga dituntut untuk menjadi penjaga ilmu-ilmu keagamaan. Status ma'shumnya menjamin ummat Islam untuk selalu mendapatkan bimbingan dari penguasa yang sangat adil dan sempurna. Imam juga harus mempunyai kualitas mufahham artinya ia bisa dipahami oleh Tuhan, seperti Sulaiman yang dideskripsikan dalam al-Qur'an.[4]

Namun dalam praktiknya, upaya mewujudkan model kepemimpinan rasul itu tidak terreflesksikan dalam sikap Imam-Imam Dinasti Fatimiyah cenderung menunjukkan sikap materialitik  di ruang publik. Mulai tahun 990 M, penguasa selanjutnya yaitu, Khalifah al-Aziz, mengimplementasikan prosesi festival ibadah (biasanya idul fitri) dimana khalifah berkeliling dengan pasukannya dengan memakai pakaian berornamen brokat dan dilengkapi dengan pedang dan sabuk emas. Para sedadu yang menunggangi gajah dan mengangkat senjata berbaris di hadapannya. Khalifah sendiri berpawai dengan memakai tenda yang dihiasi mutiara.”[5] Citra kemakmuran dan kekuasaan yang diperlihatkan di hadapan publik yang kelaparan nampaknya memang digunakan untuk menegakkan otoritas keagamaan khalifah.

Sebagai contoh, dalam prosesi idul fitri, khalifah, para pejabat tinggi dan hakim yang berpakaian mewah layaknya sedang melakukan peragaan busana, keluar dari istana ke lapangan dimana shalat idul fitri yang diikuti oleh khalayak ramai diselenggarakan. Sepanjang prosesi, takbir tak henti dikumandangkan hingga sang Khalifah memasuki tempat shalat. Sebagaimana pengamatan para sejarawan saat itu, karena panggilan untuk melaksanakan shalat id tidak membutuhkan adzan, tapi cukup dengan takbir, “maka dapat kita katakan bahwa pelaksanaan shalat id dimulai sejak datangnya khalifah dan bahkan prosesi kedatangan khalifah pun menjadi bagian dari perayaan shalat id.”[6] Qadi al-Nu’manlah yang pertama kali membuat Muslim mengasosiasikan pertunjukkan ini sebagai bagian dari doktrin syi,ah Ismailiyah karena ia  mengklaim adanya hubungan yang mendalam antara shalat jum’at, idul fitri, idul adha dan peran imam dalam seluruh missi Islam. Bisa saja kita menganggap klaim seperti itu hanya terjadi pada Syi’ah Ismailiyah atau Syi’ah Fatimiyah dan konteks historisnya. Namun seperti yang akan saya tekankan nanti, ciri-ciri seperti itu ada dalam setiap usaha mengkombinasikan otoritas politik dan agama. Apapun sebutannya: imam, khalifah ataupun presiden, penguasa yang mendasarkan otoritas politiknya pada klaim keagamaan akan selalu mencari cara untuk mengasosiasikan kekuasaan mereka dengan otoritas Islam yang suci.

Aspek lain yang membuat asosiasi seperti ini berbahaya adalah karena asosiasi semacam itu mengharuskan penguasa untuk mengakumulasi kekayaan dengan menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan patronase politik atau untuk tujuan-tujuan lainnya. Dalam kasus Dinasti Fatimiah, sumber-sumber keuangan dinasti ini didapat dari hampir toko-toko yang disewakan bulanan di Kairo, tempat mandi, gedung pernikahan, kebun buah-buahan, lebih dari 8.000 bangunan, tanah pedesaan dan lain sebagainya. Sumber-sumber itu, tentu saja, hanya merupakan bagian dari perdagangan milik pribadi imam yang meliputi seluruh pelabuhan dan armada laut.[7]  Sebagai penentu semua urusan negara, “Imam Fatimiyah juga bertanggung jawab terhadap perlengkapan dan peralatan tentara.”[8]  Tanggung jawab ini tidak sejalan dengan posisi Imam sebagai pemimpin spiritual karena sistem militer yang mempekerjakan budak pada saat itu membutuhkan dana yang sedikit lebih tinggi daripada biaya untuk mendapatkan perbekalan dan pembayaran honor tentara bayaran.[9] Selain membayar tentara, imam juga nampaknya harus membayar gaji pegawai negara.[10]  Namun, justru penyatuan fungsi penguasa militer dengan simbol keagamaan yang tertinggi dalam negara inilah yang harus kita perhatikan sebagai bahan pertimbangan untuk melihat karakter opresif sebuah rezim militer. Permusuhan antara kelompok militer yang beranggotakan budak pecah menjadi peristiwa penuh kekerasan karena adanya ketegangan rasial dam perlakuan negara yang diskriminatif dan diperparah oleh terlibatnya masyarakat umum.[11]

Sekedar penjelasan singkat, institusi-institusi peradilan dinasti Fatimiyah terdiri dari pengadilan umum(qada), pengadilan privat  (mazalim), pengadilan publik (hisbah), dan polisi (shurta).*  Semua institusi ini berada di bawah pengawasan Hakim Agung (qadi al-qudat). Hakim agung dinasti Fatimiyah bertanggung jawab atas seluruh lembaga-lembaga yang sama di seluruh provinsi, walaupun berada di bawah kebijaksaan khalifah. Namun ada beberapa daerah yang dikuasai oleh kekuatan politik lain seperti Palestina yang saat itu berada di bawah kekuasaan al-namun tidak berada di bawah pengawasan Hakim Agung Abi al-Awwam yang bermazhab Hanbali. Tentara juga tidak harus tunduk kepada Hakim Agung, tetapi mereka menjadi pelindung yurisdiksi mazalim, jika dianggap akuntabel.[12] “Tanggung jawab hakim agung juga bisa diperluas sampai ke persoalan agama seperti menjadi imam shalat, pengurusan masjid dan jenazah, dan juga tanggung jawab lain seperti mengepalai kantor percetakan uang (dar al-darb), mengawasi standar timbangan (mi'yar), dan mengurusi baitul mal.”[13] Penyatuan peran peradilan dan tanggung jawab keuangan ini memberikan kesempatan kepada aparatur negara untuk menyalahgunakan kekuasaan. Otoritas yang dimiliki mazalim memperlihatkan hak pregoratif khalifah untuk menginvestigasi pengaduan-pengaduan individual tentang ketidakadilan, kekeliruan administratif yang dilakukan oleh pejabat negara dan menyelesaikan keluhan-keluhan seperti itu tanpa harus mengikuti prosedur yang biasa berlaku. Perwakilan dari seluruh departemen hadir pada saat pengadilan mazalim, yang juga menjadi tempat yang tepat untuk menyortir dan mendistribusikan keluhan kepada pejabat negara terkait.[14]

Kepala polisi, sahib al-shurta, diharapkan untuk memperlakukan orang secara setara, menjaga hak-hak korban ketidakadilan, mengeksekusi hukuman yang ditetapkan, dan menghadirkan pihak-pihak yang terkait dengan kasus ke hadapan hakim jika diperlukan. Ia memegang fungsi-fungsi jaksa, pengintegorasi, algojo (pelaksana hukuman) dan pengelola penjara.[15] Meskipun kepala polisi seharusnya ada di bawah kendali Hakim Agung, sebetulnya ada ketegangan yang cukup besar antara pejabat negara yang berada di dua departemen yang berbeda itu menyangkut batas-batas otoritas mereka dalam penyelenggaraan hukuman hudud.[16]

Insitusi kenegaraan lain yang terdapat pada masa Dinasti Fatimiah adalah al-muhtasib. Institusi ini muncul pada masa Dinasti Fatimiah di Mesir dan terus berkembang di bagian negara lain. Terlepas dari perbedaan pendapat yang menyatakan bahwa institusi ini berasal dan berkembang dari masa pra-Islam, jelas bahwa peran al-muhtasib (orang yang mengeksekusi aturan hisbah) telah mapan pada akhir abad ke 4 sebagai satu-satunya lembaga sensor, pengawas pasar, dan juga penjaga moral publik berdasarkan aturan amar ma’ruf nahyi munkar.[17] Seorang pelaksana hukum hisbah menjadi figur sentral di mata publik karena ia memegang otoritas yang sangat besar baik sebagai pegawai pemerintahan maupun sebagai otoritas keagamaan yang bertugas menjaga kepentingan dan moralitas publik. Pasar (suq) yang menjadi wilayah kekuasaan muhtasib, menurut manual hisbah yang dibuat oleh Ibnu Abdun, dianggap mewakili seluruh kehidupan sosial.[18]

Muhtasib merupakan bagian dari pegawai lembaga peradilan karena penunjukkannya merupakan tanggung jawab hakim agung (qadi al-qudat). Dengan demikian, muhtasib juga merupakan institusi keagamaan (wadzifa diniyah). Ia ditempatkan di Masjid Agung di Kairo dan Fustat untuk mendengarkan pengaduan dalam pengadilan mazalim. Penempatan ini memperlihatkan penitngnya posisi muhtasib dalam sistem peradilan dinasti ini.[19] Namun karena kekuasaan muhtasib dianggap memiliki fungsi religius, maka orang yang ditunjuk sebagai muhtasib harus memiliki kualitas moral yang tinggi.[20] Ia berkewajiban dan diberi otoritas untuk menjatuhkan hukuman ta’zir, meskipun hudud tidak berada di bawah mandatnya secara langsung.[21] Begitu penting dan besarnya jabatan ini tercermin dari terpilihnya wazir atau imam itu sendiri untuk menduduki posisi ini. al-Hakim, Menteri Ibu Killis, dan hakim Ali bin al-Nu’man misalnya pernah menduduki jabatan ini.[22] Namun fakta ini juga mencerminkan bahwa otonomi dan indepensi jabatan ini terbatas dan bahwa institusi ini mencoba menggabungkan otoritas keagamaan dan politik.

Dengan demikian, peran muhtasib dalam sejarah Fatimiyah sebagai pengawas tidak hanya terbatas pada pasar (suq) saja, namun meliputi semua aspek yang berkaitan dengan produksi, distribusi, dan impor produk makanan. Jabatan muhtasib menjadi istimewa karena ia tidak hanya menjadi badan arbitrase perdagangan tetapi juga agen pemerintah dan sekaligus pelaku yang aktif (karena bisa melakukan monopoli) dalam aktivitas perdagangan masyarakat Mesir saat itu.[23] Pemerintah mendapatkan gandum dengan membelinya dari pasar bebas, kemudian menanamnya di ladang-ladang pribadi milik imam, dan kadang-kadang memonopoli komoditas sehingga harus berhadapan dengan para pedagang yang menjualnya.[24] Karena hal itulah, membedakan milik pribadi, kepentingan penguasa dan domain publik menjadi sulit.[25]  Peran muhtasib sebagai agen negara bagi publik dan simbol keagamaan merupakan hal yang problematik. Praktik penjualan gandum oleh elite penguasa pada masa dinasti Fatimiyah lebih bertujuan untuk mencari keuntungan sendiri dan mengabaikan permintaan rakyat miskin.[26]

Seperti yang terlihat dalam fungsi muhtasib sebagai pengumpul pajak dan penjaga moralitas publik, masalah yang potensial muncul dari penyatuan antara insitusi keagamaan dan negara adalah ketidakjujuran dan korupsi. Ulama-ulama seperti al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah, menggambarkan tanggung jawab muhtasib meliputi penyelenggaraan shalat, puasa, membayar zakat, termasuk pengaturan urusan moralitas publik seperti pengaturan penyatuan laki-laki perempuan di ruang publik, mabuk di muka umum, atau pengunaan alat-alat musik. Fungsi-fungsi itu diselengarakan dengan cara paksa di jalan-jalan kota Kairo dan kota lainya.[27] Ada pula hukum resmi yang berkaitan dengan warga dzimma seperti larangan untuk menunggang kuda atau keledai dalam kota, atau kewajiban untuk memakai baju yang berbeda dan mengalungkan lonceng di leher jika memasuki tempat mandi umum (hammam).[28] Saya akan mengulang penjelasan mengenai hal ini di bagian lain.

Pengaruh dinasti Fatimiyah terhadap Institusi Peradilan dan Keagamaan

Penjelasan mengenai dinasti Fatimiyah dan institusi-institusinya diatas diharapkan bisa menjadi latar dan konteks untuk penjelasan utama kita dalam bagian ini tentang konsekuensi penyatuan otoritas agama dan politik. Walaupun dinasti Fatimiyah memerintah Mesir selama dua abad, mazhab Syi'ah yang dianut oleh negara tidak pernah benar-benar tersebarkan kepada masyarakat banyak, dan mayoritas masyarakat Mesir  tetaplah penganut sunni. Jadi, apa konsekuensi dari patronase rezim fatimiyah terhadap mazhab Syi'ah dan  apa implikasinya terhadap model penyatuan otoritas agama dan politik yang dipakainya?

Pada saat penaklukkan Jawhar al-Mishriyyah, gubernur militer dinasti Fatimiyah, menawarkan surat jaminan keamanan (aman) kepada para bangsawan kota Fustat (kelak kota ini dijadikan ibu kota Dinasti Fatimiyah) untuk memuluskan jalan bagi terlaksananya program-program politik rezim baru, termasuk pengaturan kehidupan keagamaan masyarakat.[29]  Referensinya kepada sunnah dan persatuan Islam jelas sesuai dengan interpretasi khas Ismaili yang dirumuskan oleh Jauhar. Pada hari pertama penaklukkan, nama khalifah Fatimiyah, al-Muizz, yang saat itu masih berkuasa di Tunisia disebut-sebut dalam khutbah Jum'at di masjid Agung Fustat. Ini juga dimaksudkan sebagai cara untuk memperlihatkan keinginan rezim baru untuk menegakkan citra Islam dengan cara mengembalikan fungsi kota-kota suci dan keadilan di negeri-negeri Islam.[30] Penyebutan nama khalifah al-Mu'izz dan khalifah-khalifah setelahnya, walaupun bukan fenomena baru, merupakan simbol yang amat kuat bagi dinasti Fatimiyah untuk mengklaim otoritas keagamaan dan politik  dan menentang dinasti Abbasiyah. Klaim otoritas politik juga dilakukan dinasti ini dengan membuat uang logam yang berpahatkan nama al-Mu'izz dan penguasaan keluarga Jawhar atas pengadilan mazalim. Setelah kekuasaan di Fustat mulai stabil, Hakim Agung membagikan infak kepada warga di  masid Agung Fustat sebagai cara untuk memperlihatkan keagungan dan keberadaan rezim Fatimiyah baru.[31]

Selain model ini, ada pula model penyatuan institusi agama dan politik yang lebih tingi tingkatnya yaitu ketika 2 masjid agung mencampurkan fungsi keagamaan, sipil dan administratif sementara pada saat yang sama istana khalifah atau imam dipandang sebagai tempat yang tepat untuk proses diseminasi pengetahuan. "Hakim agung Muhammad bin an-Nu'man mengajar ilmu ahlul bait disana. Begitupun para da'i. Selain di Istana, mereka pun memberikan kuliah di al-Azhar.[32] Khalifah atau Imam sering menjadi kurator dan patron bagi berbagai institusi dan aktivitas keagamaan seperti wakaf masjid, perpustakaan dan sekolah disamping ia juga menjadi tuan rumah penyelenggaraan kuliah umum atau debat seperti menteri-menteri sipilnya.[33]

Dalam proses perdebatan dan perselisihan (munazarat), "para oposan dihadapkan pada otoritas negara untuk diinterogasi, atau paling tidak, untuk menjawab sejumlah pertanyaan mengenai masalah-masalah pemahaman dan interpretasi agama."[34] Prestise negara dipertaruhkan dalam peristiwa semacam itu .[35] Adapula majlis keilmuan (majlis al-ilm dan majlis alhikma) yang menjadi wahana untuk penumbuhan, pengembangan dan pengajaran mazhab syi'ah ismailiyah. [36] Dar al-Hikmah, misalnya, didirikan tahun 1005 dengan sebuah perpustakaan besar. Ia berfungsi sebagai sekolah tempat berbagai cabang ilmu termasuk teologi, filsafat, kedokteran, astronomi dan bahkan hukum sunni diajarkan. Dar al-hikmah juga berfungsi sebagai pusat pelatihan bagi para da'I syi'ah Ismailiyah. Kuliah-kuliah yang diselenggarakan di Dar al-Hikmah ditujukan tidak hanya bagi kalangan Syiah Ismailiyah tetapi juga bagi kalangan non-Syi'ah Ismailiyah."[37] Lembaga ini kemudian diwakafkan setelah berdiri selama lima tahun sebagai upaya pemberian otonomi kepada para ulama sunni dan syi'ah. Satu abad kemudian, ketika dua orang ulama mulai mengajarkan teologi asy'ariyah dan ajaran-ajaran yang terinspirasi oleh al-Hallaj, "Wazir al-Afdal memerintahkan penahanan kedua orang itu dan Dar al-Ilm pun ditutup."[38]  Sejak saat itu, Dar al-ilm mulai dipimpin oleh para da'I ismailiyah dan akhirnya dihancurkan oleh Salahuddin ketika ia mengakhiri kekuasaan Dinasti Fatimiyah dan Mesir.[39]

Dinasti Fatimiyah mulai mengadakan penyesuaian praktik dan kepercayaan agama di Mesir secara bertahap termasuk dengan cara memperkenalkan cara adzan Syi'ah.[40] Namun sejak awal, nampaknya ada resistensi dan negosiasi dari kalangan sunni. Sebagai contoh, dalam khutbah jum'at, imam shalat dari kalangan sunni menyebutkan nama Jawhar, penguasa militer dinasti Fatimiyah, namun tidak menyebutkan nama al-Mu'izz, Imam Syi'ah masa dinasti Fatimiyah. Dengan demikian, "ia berusaha untuk menegosiasikan batas-batas antara politik dan agama yang tidak jelas itu, untuk mengakui adanya pengaruh politik. Namun pada saat yang sama, ia pun menolak otoritas spiritual."[41] Imam-lokal dengan demikian mendeklarasikan kesetiaannya kepada penguasa militer Dinasti Fatimiyah sebagai otoritas yang sah secara de fakto, namun menolak otoritas keagamaannya.

Kebiasaan dinasti Fatimiyah yang lebih menyukai menggunakan hisab untuk menentukan akhir Ramadhan daripada ru'yah langsung dilembagakan walaupun masyarakat dan ulama sunni  tidak ikut dalam tradisi itu sampai setahun kemudian.[42] Ada laporan yang menyebutkan bahwa Hakim Barqa dihukum mati pada tahun 953 oleh al-Mu'izz karena melakukan observasi ru'yah untuk menentukan awal puasa Ramadlan, daripada dengan menggunakan perhitungan astronomi yang biasa dilakukan oleh Sang imam.[43] Seorang laki-laki juga dihukum karena ia melakukan qunut, mungkin pada saat shalat Tarawih.[44] Namun hukuman-hukuman ini nampaknya tidak pernah tercatat terjadi di Mesir, mungkin demi menjaga hubungan politik dengan kalangan mayoritas sunni.

Ritual syi'ah lain seperti perayaan Id al-Ghadir dan Ashura yang biasanya menjadi lebih publik dan provokatif bagi kalangan sunni, juga menguat di bawah perlindungan dinasti Fatimiyah. Nampaknya baru di tahun 973, perayaan Id al-Ghadir diakui secara formal keabsahannya, seperti sebelumnya pernah terjadi pada masa Dinasti Buwaihi di daerah Timur.[45] Perayaan Ashura mulai diformalkan pada tahun 970 walaupun berakhir dengan terjadinya kekerasan dengan komunitas sunni.[46]  Selama perayaan ashura 1005, mereka yang mengikuti perayaan berkumpul di Masjif al-Amr dan setelah melakukan shalat juma't mereka memenuhi jalan dan meneriakkan kutukan kepada para sahabat Nabi. Untuk meredam kericuhan, petugas menahan dan menghukum seorang laki-laki dan mengumumkan kepada khalayak bahwa hukuman yang sama akan ditimpakan bagi siapapun yang mengutuk Aisyah dan Abu Bakar lagi.[47] Walaupun perayaan Ashura dilaksanakan di luar kota oleh qadi dinasti Fatimiyah, namun perayaan itu terus menimbulkan kerusuhan di dalam kota.[48] In 1009, al-Hakim melarang perayaan Ashura dan kemudian menunjuk seorang alim dari kalangan Hanbali untuk menempati posisi Hakim Agung untuk meredam oposisi sunni. Namun, beberapa perayaan syi'ah yang lain seperti malam rajab dan sya'ban, maulid nabi dan maulid para Imam Syi'ah Ali, Hasan dan Husein tetap disponsori oleh negara. Pembuatan kalender yang khas ini memang hanya mungkin dicapai dengan adanya infrastruktur negara yang kuat yang mempergunakan sumberdaya untuk mengimplementasikan dan memanipulasinya. Penggunaan kekuasaan seperti ini biasanya ditentang dan dikritik keras oleh para ulama.

Dinasti Fatimiyah perlahan namun pasti mulai memaksakan doktrin syi'ah Ismailiyah di negeri itu melalui institusi peradilan. Seperti yang terlihat dalam kasus Abu Tahir (Hakim agung Mazhab Maliki yang sudah ada di Mesir sebelum Dinasti Fatimiah menaklukkan negeri ini). Walaupun Jawhar langsung berusaha untuk menerapkan hukum syi'ah Ismailiyah dalam kasus perceraian dan warisan, namun Abu Tahir, hakim agung mazhab Maliki, masih diperkenankan untuk menjabat sebagai hakim di Fustat karena ia setia kepada Jawhar dan al-Mu'izz. Di samping itu, abu Tahir juga bisa mempertahankan jabatannya sebagai Hakim Fustat meskipun Qadi al-Nu'man datang dan bertanggung jawab atas tentara Dinasti Fatimiyah dan kasus-kasus mazalim. Namun,  qadi berikutnya, Ali bin Nu'man, dengan bantuan khalifah yang berkuasa saat itu, Al-Aziz, bisa menyingkirkan Abu Tahir hingga semua kewenangan yang dimilikinya  jatuh ke tangan Ali bin Nu'man yang menjabat sebagai Qadi baru. Ali bin Nu'man kemudian menunjuk saudaranya, Muhammad, sebagai deputi dan mereka bersama-sama menerapkan hukum dinasti Fatimiyah di Kairo, Fustat dan di kota-kota lainnya. Muhammad bin Nu'man mengangkat seorang ahli hukum Syi'ah Ismailiyah di Masjid Agung untuk memberikan fatwa sesuai dengan ketentuan hukum dinasti Fatimiyah dan menekan oposisi dari kalangan sunni.[49] Dengan demikian, pada masa-masa awal, Dinasti Fatimiyah memang nampak enggan menentang elite-elite agama yang sudah ada, namun mereka terus mengkonsolidasikan kekuasaannya ketika mereka mulai lebih stabil. Untuk untuk tujuan diskusi kita pada bagian ini, kita bisa katakan bahwa pendekatan Dinasti Fatimiyah terhadap isu ini murni tindakan politis.

Watak otoriter kekuasaan Imam dalam dinasti Fatimiyah Mesir berarti bahwa birokrat sipil, bahkan yang berpangkat tinggi sekalipun, harus mencari dukungan dari jaringan personal dan profesionalnya. Kebiassan ini akhirnya menyebabkan terjadinya korupsi dan nepotisme.[50] Strategi yang umum digunakan, seperti yang sudah disebutkan tadi, adalah melalui pemberian dukungan kepada ulama-ulama dan ilmu-ilmu keagamaan. Cara ini misalnya dilakukan oleh Ibnu Killis, menteri dinasti Fatimiyah yang awalnya Yahudi dan baru masuk Islam, dengan mempekerjakan para sarjana dan intelektual yang berpartisipasi dalam berbagai forum-forum munazharat.[51] Namun penting untuk diperhatikan, posisi Ibnu Killis ketika melakukan tindakan itu tidak jelas, apakah ia melakukannya sebagai bentuk kedermawanan personal atau dalam posisinya sebagai menteri?[52] Para khalifah tentu saja mengembil peran langsung dalam patronase semacam itu, seperti yang dilakukan al-Hakim dengan dar al-ilminya, atau dengan mengalokasikan sejumlah besar uang bagi dua masjid agung dan masjid lainnya walaupun masjid-masjid tersebut tidak memberi pemasukan.[53]  Al-Hakim juga membangun masjid al-Hakim yang berisi sejumlah inskripsi yang menggambarkan keagungan Sang Imam dan dianggap setara posisinya dengan masjid-masjid yang ada di Mekah, Madinah dan Jerussalem.[54] Inovasi keagamaan yang dilakukan oleh dinasti Fatimiyah Mesir ini berakar pada struktur hirarkis syi'ah Ismailiyah yang sudah ada sebelumnya. Kadang-kadang negara mencoba memaksakan pelaksanaan doktrin-doktrin Syiah Ismailiyah pada rakyat banyak, seperti dengan menekan perkembangan mazhab-mazhab lain dan mengharuskan setiap orang untuk menghapal isi buku-buku fiqih Syiah Ismailiyah.[55] Namun usaha-usaha semacam itu ditentang oleh menteri-menteri dari kalangan sunni dan kristen seperti dalam kasus pendirian sejumlah madrasah pada abad ke-12 oleh dua orang menteri sunni yaitu Ridwan dan Sallar.[56]






[1] Crone and Hinds, God’s Caliph, p. 99.
[2] Crone and Hinds, God’s Caliph, pp. 100-101.  Pengarang buku ini mengutip ulama-ulama Syi'ah seperti Kulayni and Nu’man.
[3] Crone and Hinds, God’s Caliph, p. 102.
[4] Crone and Hinds, God’s Caliph, p. 103.
[5] Paula Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, AlbanyState University of New York Press, 1994, 49.
[6] Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, pp. 49-50.
[7] Lev, State and Society in Fatimid Egypt, Leiden: Brill, 65-66.
[8] Yacoy Lev, “Army, Regime and Society in Fatimid Egypt, 358-487/968-1094”, International Journal of Middle Eastern Studies, Vol. 19:3, 354
[9] Lev, “Army, Regime and Society”, 355.
[10] Lev, State and Society, p. 70.
[11] Lev, “Army, Regime and Society”, 340, 341; M. Conrad, “Fatimids”, in The Encyclopaedia of Islam, volume 2.
* Mazalim nampaknya seperti PTUN karena ia adalah lembaga peradilan yang menangani masalah kelaliman penguasa beserta keluarganya terhadap rakyat, namun kadang-kdang fungsinya lebih dari itu. Sedangkan peradilan hisbah nampaknya seperti pengadilan syari'at yang seperti diberlakukan di Aceh karena pengadilan ini menangani pelanggaran terhadap prinsip amar ma'ruf nahi munkar. (catatan penerjemah)
[12] Amin Haji, “Institutions of Justice in Fatimid Egypt (358-567/969-1171)”, Aziz Al-Azmeh, ed. Islamic Law: Social and Historical Contexts, Routledge, 1988, 198-200.
[13] Haji, “Institutions of Justice”, 200.  See also Lev, State and Society, 135.
[14] Haji, “Institutions of Justice”, 203
[15] Haji, “Institutions of Justice”, 208, 209.
[16] Lev, State and Society, 153-157.
[17] See, for example, Lev State and Societ, 160-176; Jonathan Berkey, “The Muhtasibs of Cairo Under the Mamluks: Toward an Understanding of an Islamic Institution”, Michael Winter and Amalia Levanoni, eds., The Mamluks in Egyptian and Syrian Politics and Society Leiden: Brill NV, 2004.
[18] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 247, note 14.
[19] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 251.
[20] Lev, State and Society, 161; Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 249, note 28.
[21] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 248.
[22] Boaz Shoshan, “Fatimid Grain Policy and the Post of the Muhtasib”, International Journal of Middle East Studies, vol. 13, 1981, 185 and Lev, State and Society, 161
[23] Lev, State and Society, 162.
[24] Shoshan, “Fatimid Grain Policy”, 182
[25] Lev, State and Society, 162-63
[26] Lev, State and Society, 176.
[27] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 261- 64
[28] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 262-63
[29] Yaacov Lev, “The Fatimid Imposition of Isma`ilism on Egypt (358-386/969-996)”, Zeitschrift der Deutschen Morgenandischen Gesellschaft, vol. 138, 1988, 315.
[30] Mekah diobrak-abrik oleh Penganut Karmatiyah yang berusaha mencuri hajar aswad dari Ka'bah. Perlu dicatat bahwa Karmatiyah adalah salah satu sekte Syi'ah Ismailiyah yang tidak menyatakan kesetiannya kepada dinasti Fatimiyah, dan malah dipergunakan oleh komandan-komandan dinasti Buwaihi untuk menyerang dinasti Fatimiyah, walaupun kedua kelompok ini sebetulnya adalah Syi'ah. Farhad Daftary, The Ismai`ilis: Their History and Doctrines, Cambridge: Cambridge University Press, 1990, 161-165.
[31] Lev, “The Fatimid Imposition of Isma’ilism on Egypt”, 315-316.
[32] Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, 43-44.
[33] Lev, State and Society, 71
[34] Paul Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, Journal of the American Research Center in Egypt, vol. 34, 1997, 180, 181.
[35] Walker, “Fatimid Institutions of Learning, 181.
[36] Walker, “Fatimid Institutions of Learning,  184-5.
[37] Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, p. 56
[38] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, 192
[39] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, 193.
[40] Lev, “The Fatimid Imposition”,  317
[41] Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, 45-46.
[42] Lev, “The Fatimid Imposition” p. 316 and Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, p. 45.
[43] Michel Brett, “The Realm of the Imam: The Fatimids in the Tenth Century”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, vol. 59:3, 1996, 437-38.
[44] Lev, State and Society, 143 note 48
[45] Lev, “The Fatimid Imposition” 317 and Sanders, 124-5.
[46] Lev, “Fatimid Imposition”, 318.
[47] Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, 125-26.
[48] Lev, “Fatimid Imposition”, 318.
[49] Lev, “Fatimid Imposition”, pp. 320-23.
[50] Lev, “State and Society” 73-4.
[51] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, p. 181.
[52] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, p. 188.
[53] Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, p.  62.
[54] Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, pp. 56-57.
[55] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, p. 185.
[56] Lev, State and Society, 140

1 komentar:

Unknown mengatakan...

asalamuallaikum wr.wb
saya ingin bertanya apa hubungan Dinasti Fatimiyah dengan Dinasti Mamalik di mesir. Karena saya sering sekali melihat Artikel yang memaparkan Dinasti tersebut