Label

Selasa, 04 Februari 2014

Islam, Negara dan Politik dalam Perspektif Historis



Sekularisme yang didefinisikan sebagai pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara dengan tetap menjaga keterkaitannya dengan politik lebih konsisten dengan sejarah masyarakat Islam daripada dengan ide post-kolonial mengenai Negara Islam yang bisa menerapkan syariah melalui kekuasaan Negara yang memaksa. Pemisahan antara otoritas keagamaan dengan otoritas Negara merupakan perisai pengaman yang penting bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan peran politik Islam. Dengan membuktikan bahwa sekularisme semacam ini merupakan hal yang islami, saya berharap bisa membantu menghilangkan anggapan ummat Islam bahwa konsep ini merupakan pemaksaan ala Barat yang akan menyisihkan agama ke ruang privat.  Sebetulnya tidak ada satu model sekularisme Barat yang tunggal, karena setiap masyarakat Barat menegosiasikan hubungan antara agama dan Negara dan antara agama dan politik sesuai dengan konteks sejarah mereka. Keliru juga memahami bahwa di Negara Eropa dan Amerika Utara yang dianggap sekuler, agama telah dipinggirkan ke ruang privat. 

Mengutip Ira Lapidus, “ada pembedaan yang jelas antara institusi Negara dan agama dalam masyarakat Islam. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa tidak ada satu model institusi agama dan Negara yang baku dalam masyarakat Islam; yang ada adalah sejumlah model yang saling bersaing. Bahkan, dalam setiap model terdapat ketidakjelasan mengenai bagaimana distribusi otoritas, fungsi dan hubungan antara institusi-institusi tersebut.[1]

Penekanan saya terhadap perbedaan institusi agama dan Negara dalam sejarah masyarakat Islam bukan berarti bahwa pengalaman masa lalu masyarakat Islam tersebut harus menjadi model bagi masyarakat Islam saat ini dan di masa depan. Ide seperti ini tidak mungkin dilaksanakan dan juga tidak diinginkan karena masyarakat muslim saat ini memiliki konteks yang berbeda dengan masyarakat muslim sebelumnya. Usaha untuk menerapkan pengalaman historis tersebut akan menjadi tidak konsisten dengan asumsi mengenai pentingnya menegosisasikan secara kontekstual hubungan agama dan negara serta hubungan agama dan politik. Tinjauan historis dan  analisis terhadap hubungan antara Islam, negara dan politik dalam bagian ini hanya ditujukan untuk memperlihatkan bahwa pendekatan yang saya ajukan bisa didukung oleh analisis historis. Saya tidak bermaksud mengklaim bahwa salah satu masyarakat tersebut telah hidup dalam negara sekuler yang modern. Namun, tinjauan historis ini tetap akan menjadi signifikan bagi diskusi kita untuk memperlihatkan bahwa pemahaman terhadap sekularisme yang saya ajukan di sini, bukanlah ide yang asing dalam sejarah masyarakat Islam.

Untuk memenuhi tujuan tersebut, saya akan memulai dengan menjelaskan cara saya membaca dan menginterpretasikan sejarah Islam. Setelah itu, pada bagian dua bab ini, saya akan mengungkapkan visi ideal dan realitas pragmatis sejarah Islam tersebut. Dalam bagian tiga, saya akan memperlihatkan bagaimana visi ideal dan realitas pragmatis tersebut dalam sejarah Dinasti Fatimiyah dan Mamluk di Mesir. Dalam bagian tiga tersebut, saya juga akan membahas status ahl-al-dhimma (ahl al-kitab) di beberapa negara bagian di Mesir untuk memperlihatkan implikasi pengalaman sejarah masa lalu tersebut terhadap masa depan penerapan prinsip konstitusionalisme, kewarganegaraan dan hak asasi manusia dalam masyarakat Islam saat ini.

Satu hal yang harus saya klarifikasi dari penjelasan ini adalah bahwa sejarah yang saya kemukakan di sini adalah sejarah ummat Islam yang menjadi mayoritas di sebuah daerah. Namun bukan berarti status mayoritas ini membuat mereka dianggap Islami atau ideal menurut sumber-sumber dasar Islam. Ummat Islam dulu maupun sekarang biasa berpendapat bahwa kegagalan ummat Islam saat ini bukanlah karena Islam itu sendiri, melainkan karena mereka tidak bisa menjalankan islam yang ideal. Saya tidak menganggap argumen ini relevan dengan apa yang akan saya ungkapkan di sini, karena saya lebih tertarik dengan Islam yang dipraktikkan dan dipahami oleh ummatnya; bukan Islam yang ada dalam tataran ideal dan berbentuk abstrak. Memang selalu ada dimensi Islam yang ada di luar pemahaman dan pengalaman manusia. Dimensi ini biasanya ada, paling  tidak, dalam ingatan kolektif yang relevan dengan organisasi politik dan sosial masyarakat. Contohnya seperti yang tersurat dalam Qs. 43: 3 dan 4, “kami telah menurunkan al-Qur’an dalam bahasa Arab kepadamu agar kamu memahaminya,…….”. Ketika mengutip ayat-ayat tersebut atau ayat al-Qur’an lainnya di sini, berarti kita sedang berusaha untuk menurunkan maknanya dalam bahasa Inggris karena al-Qur’an tidak bisa diterjemahkan begitu saja. Demikian juga ketika seseorang mengutip al-Qur’an dalam versi Arabnya, proses penurunan makna itu akan tetap terjadi karena tidaklah mungkin seseorang merujuk pada al-Qur’an kecuali jika ia memahaminya.

Dengan kata lain, usaha apapun untuk mengidentifikasi atau mendeskripsikan islam yang ideal kepada orang lain selalu terhambat oleh keterbatasan-keterbatasan dan kemungkinan manusia untuk berbuat salah. Memang tingkat pemahaman dan pengalaman seseorang terhadap makna al-Qur’an itu berbeda-beda, tapi tidak ada seorang manusia pun yang bisa sepenuhnya mentransendensikan kemanusiaannya, terutama kepada manusia lain. Jika kemampuan manusia yang terbatas untuk memahami dan mengkomunikasikan sesuatu itu selalu menjadi dasar bagi usaha untuk mengembangkan hubungan sosial dan politik sesuai dengan ajaran Islam, saya jadi mempertanyakan apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islami dalam konteks ini? saya tidak bermaksud menolak adanya keragaman individual dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam, namun pemahaman dan pengamalan ini tidak bisa dijadikan dasar organisasi sosial dan politik masyarakat, kecuali jika ada pemahaman yang sama dan bisa dipatuhi oleh semua pihak. Dengan kata lain, makna kolektif dan praktis istilah “Islami” itulah yang harus terus dianalisis dan direfleksikan sepanjang sejarah pengalaman ummat Islam dulu, kini dan nanti.

Dalam bingkai perspektif inilah saya menjadikan bab ini sebagai sebuah usaha untuk menunjukkan kontradiksi yang terdapat dalam gagasan penyatuan otoritas politik dan agama. Saya juga ingin menunjukkan bahaya yang tak terhindarkan jika mengimplementasikan gagasan tersebut. Saya katakan dengan jujur bahwa bahaya itu akan tetap ada, baik jika gagasan tersebut diklaim secara eksplisit ataupun implisit, atau bahkan jika ia hanya sebuah usaha yang dilakukan secara selektif tanpa klaim terbuka. Tujuan ini saya ungkapkan di sini dalam konteks pengalaman sejarah masyarakat muslim dimana kualitas Islami dipahami dengan cara sebagaimana yang sudah saya ungkapkan tadi. Saya menyadari bahwa saya tidak mungkin mempresentasikan pembahasan sejarah yang komperehensif atau mendiskusikan aspek atau peristiwa tertentu yang disebutkan dalam bab ini secara lengkap. Bahkan jikapun hal ini bisa dilakukan, saya akan sulit mengklarifikasi hal penting yang ingin saya bahas dalam bab ini. Karena itulah, saya hanya akan menyoroti beberapa peristiwa dan tema yang cukup familiar dalam sejarah Islam untuk memperjelas isu yang saya bicarakan di sini. Saya juga akan mengutip beberapa sumber yang memberikan informasi dan elaborasi lebih lanjut.

I.    Kerangka untuk Membaca Sejarah Islam

Sejarah sebuah masyarakat berisi berbagai jenis peristiwa dan dimensi hubungan manusia. Persepsi yang berbeda mengenai sejarah pasti cenderung menekankan satu atau beberapa elemen, dan ini dilakukan untuk mendukung institusi sosial, relasi ekonomi atau organisasi politik tertentu. Sebagai contoh, persepsi yang berbeda tentang sejarah bisa saja menekankan tradisi toleran atau, malah, sebaliknya terhadap perbedaan agama, praktik dan pendapat politik dalam masyarakat. Karena perbedaan persepsi itu dikutip untuk mempengaruhi pandangan dan perilaku ummat Islam saat ini, pembuat kebijakan dan pihak yang terlibat dalam debat publik cenderung untuk menekankan persepsi-persepsi yang cocok dengan posisi mereka. Pihak-pihak yang terlibat dalam debat pasti menekankan visi mereka tentang sejarah secara meyakinkan. Namun sayangnya, visi itu tidak serta merta menjadi benar atau sah. Jelas bahwa kerangka dan interpretasi terhadap sejarah Islam yang akan saya kemukakan berikut ini pun merupakan salah satu persepsi-persepsi yang saling bersaing dan memiliki sisi kemanusiaannya. Karena itu, kerangka ini bukan merupakan satu-satunya pandangan yang sah. Namun, memang begitulah pendekatan sejarah; tidak ada seorang pun yang bisa bersikap netral atau objektif terhadap sejarah Islam dan sejarah lainnya.

Studi kasus mengenai dinasti Fatimiyah dan Mamluk Mesir yang saya paparkan di sini bukanlah wakil dari seluruh masyarakat Islam masa lalu, bahkan bagi masyarakat yang ada di negeri tersebut dan hidup pada saat itu, apalagi dari masyarakat Asia Tengah atau masyarakat Afrika. Tetapi, fokus studi kasus ini sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya bias mengenai posisi Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai pusat Islam. Dominannya fakta sejarah itu membuat Islam hanya dipahami sebagai pengalaman sosial dan budaya masyarakat Islam di daerah tersebut, terutama pada masa 4 atau 5 tahun pertama Islam. Akibatnya, penguasa-penguasa Muslim di daerah lainnya hampir menganggap pengalaman masyarakat Islam Timur Tengah sebagai kerangka wacana keislaman yang sah dan otoritatif.  Bahkan masyarakat muslim yang tinggal di daerah lain pun menganggap bahwa pengalaman keagamaan dan sosial mereka lebih rendah dibandingkan dengan pengalaman masyarakat Timur Tengah jika digunakan sebagai argumen keagamaan. Ini bisa dipahami karena teks al-Qur’an dan sunnah berbahasa Arab dan dipahami dalam konteks pengalaman masyarakat Arab saat itu. Namun ketika kekuatan untuk menentukan diri sendiri (self-determination) semakin menguat, pengakuan yang sama nampaknya harus diberikan kepada semua pengalaman masyarakat Islam, dimanapun mereka berada.

Bias yang tadi saya sebutkan nampaknya sudah sangat tertanam dalam sumber dan sejarah intelektual masyarakat Islam sehingga tidak mungkin dihilangkan dalam waktu singkat. Namun, upaya tersebut tidak mungkin dimulai jika kita tidak mengenalinya saat ini. Meskipun mengidentifikasi bias semacam itu bukan kompetensi saya, namun saya berharap ide saya mengenai pembacaan alternatif terhadap sejarah masyarakat Islam dapat memunculkan debat mengenai isu tersebut, terlepas dari pengalaman sejarah yang digunakan untuk melakukan hal itu. Menurut saya, mengambil pelajaran dari pengalaman satu masyarakat Islam pra-modern dengan menggunakan sebanyak-banyaknya sumber lebih baik daripada kita menyesali kurangnya perhatian terhadap pengalaman beberapa masyarakat. Melalui perspektif inilah, saya akan berusaha untuk mengklarifikasi tema utama bab ini yaitu memahami pengalaman hubungan Islam dengan negara dan politik dalam sejarah pengalaman masyarakat Islam.

Hubungan antara Islam, negara dan politik sepanjang sejarah masyarakat Islam  jelas  merefleksikan ketegangan permanen antara visi ideal penyatuan Islam dan negara dengan kebutuhan pemimpin agama untuk melanggengkan otonominya dari institusi negara. Pemimpin agama membutuhkan otonomi dari negara untuk mempertahankan otoritas moralnya pada negara dan masyarakat secara keseluruhan. Kerangka dasar yang digunakan untuk memediasi ketegangan itu adalah adanya harapan ummat Islam kepada negara untuk memegang teguh prinsip-prinsip Islam dalam menjalankan kewajibannya sekaligus menjaga wataknya yang sekular dan politis. Harapan yang pertama berdasarkan pada keyakinan ummat Islam bahwa Islam menyediakan model yang komprehensif untuk kehidupan individu dan publik dalam ruang publik maupun ruang privat. Namun, negara pada dasarnya memang merupakan institusi yang sekular dan politis karena kekuasaan dan institusinya menuntut bentuk dan tingkat kontinuitas dan prediktabilitas yang tidak bisa disediakan oleh otoritas keagamaan. Memang pemimpin agama bisa dan memang harus menekankan cita keadilan dan kesetiaan terhadap syariah dalam teori. Tapi, mereka tidak mempunyai kekuasaan maupun kewajiban untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan praktis seperti bagaimana mempertahankan perdamaian antar komunitas lokal, mengatur relasi ekonomi dan sosial atau mempertahankan negara dari ancaman luar. Fungsi pragmatis itulah yang menuntut negara untuk memiliki kontrol yang efektif terhadap wilayah dan penduduknya, serta memiliki kemampuan untuk menggunakan kekuataan pemaksa agar penduduknya tunduk dan patuh pada kekuasaanya. Fungsi seperti ini nampaknya lebih mungkin dipenuhi oleh pemimpin politik daripada pemimpin agama.

Namun demikian, bukan berarti pemimpin agama tidak bisa memiliki otoritas politis atas pengikutnya. Saya hanya menyarankan untuk membedakan kedua jenis otoritas ini, bahkan jikapun keduanya dimiliki oleh satu orang. Sebagai contoh: otoritas keagamaan lebih berdasarkan pada penilaian dan kepercayaan personal terhadap tingkat kesalehan seorang ulama. Penilaian subjektif seperti ini hanya mungkin dilakukan melalui interaksi yang rutin dan bersifat lokal. Namun perlu juga diingat bahwa model interaksi yang seperti ini nampaknya tidak bisa dimiliki oleh semua orang, apalagi bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan atau di daerah yang sangat jauh. Sebaliknya, otoritas politik cenderung berdasarkan kualitas yang bisa dinilai secara lebih “objektif”. Kualitas tersebut menyangkut kemampuan untuk menjalankan kekuasaaan kursif dan administrasi yang efektif bagi kemaslahatan komunitas. Saya harap pembedaan ini bisa menjadi lebih jelas pada bagian-bagian selanjutnya.

Setiap masyarakat membutuhkan negara untuk melaksanakan fungsi-fungsi penting seperti mempertahankan kedaulatan dari ancaman luar, menjaga perdamaian dan keamanan publik dalam wilayahnya, menyelesaikan perselisihan antarwarga serta menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk kebaikan mereka. Agar negara bisa menjalankan fungs-fungsi tersebut, ia harus memilih salah satu dari sejumlah kebijakan yang saling bertentangan dan mempunyai monopoli yang efektif untuk menggunakan kekuatannya dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Saya harus tekankan di sini bahwa kita sedang berbicara tentang kebijakan publik dalam skala yang luas; bukan kepercayaan personal seseorang terhadap pemimpin agamanya dengan mematuhi saran-saran yang mereka berikan dalam persoalan-persoalan rutin maupun spiritual. Kebutuhan untuk melaksanakan kebijakan publik yang umum, seperti dibedakan dari kepatuhan sukarela seorang individu, menuntut adanya pemimpin yang ditentukan (baik melalui ditunjuk, dipilih atau dengan cara apapun)  karena mereka diharapkan bisa melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Pemimpin-pemimpin itu diharapkan pula memiliki kecakapan politik dan kemampun untuk menggunakan kekuasaaan kursif.  Kualitas pemimpin politik yang efektif, dengan demikian, harus ditentukan oleh publik dalam skala yang luas, dengan cara yang jelas dan teratur, agar bentrokan sipil atau konflik bernuansa kekerasan dapat diminimalisir. Ketidakpastian mengenai pemimpin politik dan otoritas mereka menimbulkan resiko perang sipil, kekacauan, bentrokan atau, paling tidak, kebuntuan dan kebingungan dalam pemerintahan.

Sebaliknya, pemimpin agama mendapatkan pengakuan dari ummat karena kesalehan dan pengetahuan mereka. Pengakuan ini bisa ditentukan oleh penilaian personal seseorang yang butuh untuk tahu potensi pemimpin agamanya melalui interaksi sehari-hari. Identitas dan otoritas pemimpin agama hanya bisa dicapai secara gradual dan tentatif melalui relasi interpersonal dengan pengikutnya. Dalam pandangan saya, hal ini tidak saja terjadi dalam komunitas sunni, namun juga dalam komunitas syi’ah yang memiliki hirarki struktural yang sudah mapan. Dalam komunitas Syi'ah, interaksi harian di level lokal ini diperkuat dengan otentisitas rantai riwayat yang sampai pada Imam atau Syeikh. Perbedaan antara otoritas politik dan keagamaan yang saya tekankan di sini, bisa juga diungkapkan untuk membedakan antara kekuasaan kursif dan kekuasaan eksklusif yang dimiliki oleh pemimpin politik atas wilayah dan penduduk tertentu, dengan otoritas moral yang dimiliki oleh pemimpin agama yang bisa juga berlaku luas dan bagi banyak orang.

Dengan demikian, ada perbedaan fundamental antara kualitas pemimpin politik dan pemimpin agama dalam cara penunjukkan atau pemilihan mereka dan bentuk serta jangkauan otoritasnya terhadap pengikutnya. Mungkin saja beberapa pemimpin politik juga memiliki kesalehan dalam beragama dan pengetahuan. Begitupun pemimpin agama, mereka bisa memiliki keterampilan berpolitik dan kemampuan untuk menggunakan kekuasaan kursif. Bahkan nampaknya umat Islam mengharapkan masing-masing pemimpin memiliki kualitas yang lain. Seorang pemimpin politik misalnya diharapkan memiliki tingkat kesalehan dan pengetahuan tertentu, sementara pemimpin agama juga diharuskan memiliki keterampilan berpolitik untuk bisa memenuhi peran mereka dalam masyarakat. Namun, penguasa manapun tidak akan mengijinkan adanya penilaian independen terhadap tingkat kesalehan dan pengetahuannya, apalagi jika itu dikaitkan dengan klaim legitimasi mereka atas kekuasaan. Sebaliknya, keterampilan politik pemimpin agama bisa dinilai melalui interaksi inter-personal yang damai dan tanpa kekerasan. Suatu hal yang tidak realistis untuk mengharapkan penguasa melepaskan kekuasaan kursifnya karena masyarakat menilai tingkat kesalehan dan pengetahuan mereka tidak cukup. Sama tidak realistisnya mengharapkan pemimpin agama melepaskan otoritas mereka hanya karena kualitas dan keterampilan politiknya tidak memuaskan. Namun, membiarkan orang yang sama untuk memiliki kedua otoritas ini pun merupakan hal yang berbahaya dan kontra produktif, karena tidak mungkin memecatnya tanpa resiko terjadinya kekacauan sipil dan kekerasan.

Karena legitimasi keagamaan merupakan hal yang penting bagi penguasa untuk mempertahankan otoritas politiknya terhadap ummat Islam, tak heran jika mereka selalu cenderung mengklaim bahwa mereka memiliki otoritas keagamaan. Namun, klaim seperti itu tidak serta merta menjadikannya muslim yang hebat atau menjadikan negara yang dipimpinnya islami. Malah, penguasa biasanya sangat menginginkan legitimasi keagamaan ketika klaim mereka tidak lagi dianggap sah. Padahal, kerendahan hati yang merupakan simbol kesalehan, menuntut seseorang untuk tidak mengklaim dirinya sebagai orang soleh atau paling tidak, tidak secara aktif mengakui kualitas tersebut. Namun bila cara ini ditempuh, penguasa harus menyeimbangkan kontrol mereka terhadap pemimpin agama dengan membiarkan mereka tetap mempertahankan otonomi relatifnya. Otonomi inilah yang justru menjadi sumber kekuatan untuk memberikan legitimasi bagi otoritas penguasa. Tapi, penguasa juga tidak bisa memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pemimpin agama, karena mereka mungkin menggunakan kebebasan itu untuk melemahkan otoritas politik negara. Pemimpin agama, memang, harus bersikap kritis kepada negara karena dengan cara demikian, mereka bisa mempertahankan otoritas keagamaan mereka di tengah-tengah komunitas dan juga mendorong negara untuk mengontrol mereka. Dengan demikian, semakin besar otonomi pemimpin agama, semakin besar pulalah tantangan mereka bagi otoritas politik negara. Tetapi, jika mereka dianggap dikontrol oleh negara, semakin kecil pulalah kemungkinan masyarakat menerima penilaian mereka bahwa negara sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan kata lain, sejarah memperlihatkan bahwa institusi agama dan negara memang harus dipisahkan, namun dalam praktiknya keadaan ini sulit untuk dipertahankan.

Paradoks yang dalam dan kompleks ini, yang juga merupakan pengalaman komunitas agama lain dan bukan hanya ummat Islam, mengantarkan kita pada bagian berikutnya. Otoritas keagamaan harus dipisahkan dari kekuasaan politik agar pemimpin agama bisa menjaga penguasa untuk tetap akuntabel pada  prinsip-prinsip Islam. Karena akuntabilitas murni tidak mungkin bergantung pada kerjasama sukarela penguasa yang pasti merasa terbebani dengan itu, maka persoalannya adalah bagaimana membuat penguasa tetap akuntabel tanpa harus menghadapi ancaman pemberontakan. Jika otoritas keagamaan mengancam atau cenderung memberontak, seperti yang terjadi sepanjang sejarah, penguasa akan berusaha menekan mereka dengan kekerasan yang akhirnya mengarah pada perang sipil atau kekacauan sipil. Inilah dilema yang dihadapi pemimpin agama seperti al-Ghazali untuk mentoleransi penguasa yang opresif atau tidak sah dan menyebutnya sebagai The Lesser of Two Evils (iblis kerdil).

Dari perspektif ini, sejarah Islam bisa dibaca sesuai dengan jarak antara institusi agama dan negara yang dialami atau dibangun oleh rezim yang berbeda. Model pertama hubungan ini adalah penyatuan utuh institusi agama dan negara berdasarkan prototipe masyarakat yang dibangun Nabi di Madinah yang mengasumsikan keharusan penyatuan kepemimpinan militer dan politik dengan kepemimpinan agama. Dalam model seperti itu berarti tidak ada pemisahan antara institusi agama dan politik; masyarakat diorientasikan pada satu figur, dan nampaknya ada hirarki dan sentralisasi yang kuat. Model yang lain adalah pemisahan utuh antara otoritas agama dan politik yang nampaknya menjadi pilihan yang dominan dipraktikkan, meskipun tidak penah diakui secara terbuka oleh rezim yang bersangkutan karena mereka masih menganggap pentingnya mendapatkan legitimasi keagamaan. Ambivalensi ini berarti bahwa kebanyakan rezim  politik di negara-negara Islam ada diantara dua model ini. Mereka tidak pernah mencapai penyatuan secara utuh seperti model ideal yang dicontohkan Nabi, meskipun mereka selalu mengklaim lebih dekat pada model ini daripada ke model pemisahan utuh antara otoritas politik dan agama. Hal yang ingin saya tekankan dalam bab ini adalah ummat Islam lebih baik mengenali ketidakmungkinannya mencapai model penyatuan utuh agar mereka lebih mudah untuk mengelola dan mengatur model pemisahan yang lebih pragmatis. Saya akan jelaskan hal ini lebih lanjut pada bagian lain dalam bab ini.

Penyatuan ideal tidak mungkin dicapai setelah Nabi meninggal karena tidak ada seorang manusiapun pada saat ini yang memiliki otoritas politik dan keagamaan yang sama sepertinya. Sebagai perwujudan utama model ini, ummat Islam menerima Nabi sebagai satu-satunya pembuat undang-undang, hakim dan pemberi perintah. Pengalaman seperti itu unik dan tidak bisa direplikasi, karena ummat Islam percaya bahwa tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad. Semua penguasa sejak Abu Bakar, Khalifah pertama, harus menegosiasikan atau memediasi ketegangan permanen antara otoritas politik dan agama, karena tidak satupun dari mereka yang dianggap mampu oleh semua ummat Islam untuk menggantikan posisi Nabi yang telah mendefinisikan Islam dan yang menentukan bagaimana ia harus diimplementasikan oleh ummatnya.

Semua pemimpin, memang, pasti menghadapi oposisi yang bisa jadi sangat kuat bahkan, kadang-kadang, penuh kekerasan. Namun perbedaan yang signifikan antara dua model otoritas ini adalah bahwa klaim oposisi terhadap otoritas politik hanya bisa berdasar pada penilaian manusia yang bisa dinilai oleh manusia lain. sedangkan oposisi terhadap kepemimpinan agama memerlukan adanya otoritas ketuhanan yang tentu saja mampu mengatasi tantangan manusia. Karena dasar otoritas politik, seberapapun despotik dan otoriternya, adalah representasi pandangan dan kepentingan warga, maka ia bisa ditantang dengan menggunakan alasan-alasan yang sama. Sebaliknya, karena dasar kepemimpinan agama adalah klaim otoritas moral, maka ia tidak bisa tunduk pada penilaian manusia. Meskipun ada kebebasan untuk menerima atau menolak pesan-pesan Islam, namun tidak ada masalah oposisi politik yang ditujukan kepada Muhammad di kalangan Ummat Islam yang mengakuinya sebagai nabi terakhir. Sebaliknya, ketika Abu Bakar menggunakan otoritasnya untuk memerangi suku-suku Arab yang menolak untuk membayar zakat kepada negara, banyak sahabat Nabi yang terkemuka, termasuk Umar yang menggantikannya sebagai khalifah kedua, menentang kebijakan ini.

Contoh yang saya kemukakan barusan masih menjadi bahan kontroversi di kalangan sarjana Islam, seperti yang dijelaskan dalam bagian berikutnya, karena Abu Bakar menggunakan alasan keagamaan untuk menumpas pemberontakan. Saya sendiri berpendapat bahwa Abu Bakar membuat keputusan yang benar. Namun saya juga melihat bahwa pada sahabat menerima pendapat Abu Bakar karena ia adalah pemimpin politik komunitas muslim saat itu, dan bukan karena persoalan otoritas keagamaan. Tentu saja benar bahwa, bagi para sahabat Nabi saat itu, seperti bagi ummat Islam generasi berikutnya, ketaatan kepada penguasa yang sah merupakan kewajiban agama seperti yang tersurat dalam Qs. 4:59. Namun, kewajiban ini juga nampaknya berlaku meskipun seseorang tidak setuju dengan kebijakan penguasa  dengan alasan keagamaan demi mempertahankan stabilitas dan keamanan masyarakat. Jika saja Umar yang menjadi khalifah pada saat itu, mungkin pandangannya yang tidak sesuai dengan Abu Bakarlah yang akan berlaku. Dari perspektif inilah, situasi yang melatari peristiwa-peristiwa itu jelas-jelas politik dan bukan agama, walaupun kampanye untuk memerangi suku Arab yang murtad itu memiliki alasan-alasan religius sekaligus politik.

Jelas bahwa para penguasa muslim terus berusaha mengamankan kontrol mereka atas negara dengan menarik atau memaksa otoritas keagamaan untuk melegitimasi kekuasaannya. Namun, di sisi lain, otoritas keagamaan juga berusaha untuk mempertahankan tingkat otonomi dan kemerdekaan mereka dari aparat negara agar mereka bisa menantang atau bahkan memperbaiki penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat negara. Seperti yang sudah saya catat sebelumnya, negara harus menyelesaikan paradoks pemberian otonomi yang cukup bagi otoritas keagamaan agar mereka bisa mendapatkan legitimasi dari kelompok ini untuk kekuasaannya. Tapi, penguasa juga tidak bisa membiarkan mereka terus independen, hingga mereka bisa menantang otoritas negara. Secara historis, model yang telah ternegosiasikan, telah diperlihatkan melalui sistem patronase dan pemberian sponsor oleh pihak yang berkuasa kepada institusi-institusi keagamaan. Beberapa bentuk negosiasi telah kita saksikan sebelumnya, namun bentuk yang paling jelas bisa ditelusuri ke pertengahan abad ke-10 ketika Dinasti Buwaihhi menaklukkan Baghdad dan harus menghadapi minoritas syi'ah serta sunni yang menolak kehendak politiknya. Setelahnya, dinasti Saljuk, Zangid, Ayyub, dan Mamluk meniru model ini dengan berbagai penyesuaian.

Ini tidak berarti bahwa otoritas keagamaan selalu mengakomodasi atau dikooptasi dan dipaksa oleh  penguasa. Para ulama dan pemimpin sufi, misalnya, memilih untuk menghindari negara dan aparatusnya. Meskipun kebanyakan pemimpin agama yang beroposisi kepada pemerintah melakukannya dengan cara damai, tak sedikit di antara mereka yang terpaksa mengunakan pemberontakan. Mungkin kasus-kasus oposisi politik para pemimpin agama tidak memperlihatkan model terpisah, seperti yang terlihat pada respon sejumlah pemimpin agama terhadap penguasa yang berusaha mendapatkan legitimasi bagi negara yang dipimpinnya.  Namun keberadaan respon-respon tersebut tetap menunjukkan adanya pembedaan antara otoritas agama dan negara, seperti yang sudah diungkapkan oleh Lapidus di muka. Sekarang saya akan mencoba untuk mengklarifikasi dan mendukung perspektif tentang sejarah masyakat Islam ini dengan menyoroti pola hubungan Islam, negara dan politik dan tidak sekedar menarasikan peristiwa dan sosok.

Sekedar menyimpulkan, pembacaan atau cara pandang terhadap sejarah masyarakat Islam yang saya ajukan adalah bahwa ada pemisahan yang jelas antara otoritas agama dan politik yang bisa ditelusuri sejak masa Abu Bakar menjadi khalifah pertama negara Madinah. Fakta bahwa pandangan ini tidak berlaku di kalangan ummat Islam tidak berarti bahwa pandangan ini dengan sendirinya keliru. Malah, krisis hubungan antara Islam dengan negara dan politik yang sedang dialami oleh ummat Islam saat ini di manapun mereka berada, mengindikasikan pentingnya cara baru dalam membaca sejarah. Cara ini diharapkan berguna sebagai pedoman pelaksanaan syariah dalam masyarakat muslim di masa yang akan datang karena cara pandang lama yang sudah familiar nampaknya mulai tidak berlaku. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa pandangan yang saya ajukan di sini seluruhnya benar, hanya saja ajuan ini perlu dipertimbangkan secara serius sebagai alternatif bagi pandangan umum yang berlaku saat ini, daripada sekedar dianggap keliru karena sifatnya yang tidak familiar.

II.        Permulaan Mediasi antara Visi Ideal dan Realitas Pragmatis

Seperti yang sudah saya ungkapkan, karena model Nabi di Madinah terlalu unik untuk direplikasi, saya akan memfokuskan pembahasan ini dengan mengklarifikasi signifikansi masa Khulafaurrasyidin (abu Bakar, Ustman, Umar dan Ali) pada tahun 632-661, dan periode Umayah (661-750).[2] Saya akan mempertimbangkan sejarah masa awal ini dalam hubungannya dengan dua model penyatuan dan negosiasi hubungan antara Islam dan negara maupun antara Islam dan politik. Dalam bagian kedua saya akan menguji secara singkat beberapa peristiwa dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh peristiwa mihnah yang dimulai pada masa Khalifah al-Ma'mun di tahun 833 dan dilanjutkan oleh penguasa setelahnya dalam hubungannya dengan pertanyaan yang kita bahas dalam bab ini. Karena peristiwa-peristiwa itu menekankan pentingnya membedakan Islam dan negara, bagian ketiga akan menyoroti pentingnya wakaf sebagai kekuataan kelembagaan dan keuangan institusi keagamaan dan otonomi ulama dalam menegosiasikan hubungan Islam dengan negara dan politik.

Sebagaimana muslim yang lain, sulit bagi saya untuk menawarkan refleksi analitis terhadap fase awal sejarah Islam tersebut karena tingginya penghormatan yang diberikan kepada para sahabat yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa itu. Bagaimana saya bisa melakukan penilaian salah atau benar kepada Abu Bakar, seorang sahabat Nabi yang paling dihormati di kalangan muslim sunni, ketika ia memutuskan untuk mengobarkan perang terhadap orang murtad atau yang lebih dikenal sebagai hurub al-rida, atau menilai bagaimana ia mengatasi persoalan Khalid bin al-Walid karena perilakunya selama masa penaklukan? Bagaimana saya bisa mengkritik Muawiyah, seorang sahabat lain yang mendirikan dinasti Umayyah? Namun, sebagai seorang muslim saya juga harus merefleksikan sosok-sosok tersebut dan perilaku mereka karena saya percaya pentingnya menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam kini dan nanti. Karena sebagai Muslim saya tidak mau menghindar dari tanggung jawab dengan hanya menjauhi isu semacam ini. Saya malah merasa terhormat untuk mengungkapkan pandangan seperti itu dan karena saya melakukannya untuk kemasalahatann bersama bukan demi keuntungan pribadi.

Lagipula, keterlibatan saya dalam melakukan refleksi kritis terhadap aksi politik sosok-sosok religius itu merupakan bagian dari alasan saya untuk tetap menekankan pentingnya netralitas negara terhadap agama, seperti yang berkali-kali saya ajukan dalam buku ini. Pemisahan antara agama dan negara diperlukan agar ummat Islam bisa memegang teguh kepercayaan agamanya dan hidup sesuai dengan kepercayaan itu tanpa mengabaikan tanggung jawab mereka untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan publik masyarakatnya. Sejarah menunjukkan bahwa pemuka agama rentan terhadap rayuan dan paksaan untuk mendukung agenda politik penguasa, bahkan mereka rentan terhadap konsekuensi yang berat seperti yang terlihat dalam kasus mihnah berikut ini. Untuk menghindari dilema ini, beberapa pemimpin agama cenderung menghindari keterlibatan serius dalam urusan publik. Daripada menghadapi kesulitan yang sama, saya menyarankan agar ummat Islam saat ini sebaiknya menempuh upaya pemisahan antara Islam dengan negara, yang berarti bahwa mereka yang mengontrol negara tidak bisa menggunakan kekuasaan kursifnya memaksakan atau menerapkan kepercayaannya. Tujuan saya merefleksikan relevansi dan signifikansi peristiwa-peristiwa sejarah fase awal dan sangat diperdebatkan ini adalah untuk melihat apa yang mereka perlihatkan kepada kita tentang Islam dan negara, tanpa menilai apa yang benar dan yang salah, siapa yang baik dan siapa yang jahat.

Perang terhadap Orang-Orang Murtad dan Watak Negara

Suksesi Nabi merupakan topik yang tetap hangat diperdebatkan sepanjang sejarah masyarakat Islam karena implikasinya yang besar terhadap watak negara dan hubungannya dengan Islam. Urutan peristiwa yang umum diterima adalah bahwa klaim kelompok Muhajirun lebih kuat daripada klaim kelompok anshar. Riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa kelompok anshar menuntut adanya pemimpin (amir) dari dua kelompok yang berbeda ini, menunjukkan bahwa mereka khawatir mengenai resiko adanya pemerintahan yang terkonsolidasikan, daripada sekedar reaksi penolakan terhadap Abu Bakar atau semacamnya. Fakta ini akan relevan untuk memahami alasan pemberontakan suku-suku Arab lain yang ditumpas melalui perang riddah yang akan kita diskusikan berikut ini. Ketika isu pertama ini terselesaikan, Abu bakar memiliki pengaruh yang lebih kuat di kalangan muslim Mekah saat itu daripada calon lainnya, hingga Umar menyebutnya "kebetulan yang tak terrencanakan" (falta). Hal penting yang selalu menjadi kontroversi dalam proses ini adalah sebagian ummat Islam saat itu, yang kemudian dikenal sebagai kelompok pendukung Ali (shi'at) terus menentang validitas kemenangan Abu Bakar atas Ali. Hal yang lebih signifikan kita bahas dalam perbicangan kita saat ini adalah bahwa perbedaan alasan pemilihan pengganti Nabi dan kriteria pemilihan memiliki konsekuensi yang luar biasa terhadap watak negara sebagai institusi politik. Masalah yang berkaitan dengan posisi khalifah dan hubungannya dengan masa Nabi terus memiliki konsekuensi yang besar bagi watak negara itu sendiri. Sekarang saya akan membahas permasalahan ini melalui analisis terhadap perang orang-orang murtad dan pentingnya peran peristiwa ini dalam pembentukan watak negara sebagai institusi politik.

Perang terhadap orang-orang murtad merupakan krisis pertama yang dihadapi oleh pemerintahan yang baru setelah meninggalnya Nabi Muhammad. Saat itu, Abu Bakar harus memperlihatkan otoritas negara terhadap sejumlah suku Arab yang jelas-jelas menolak otoritas tersebut. Ummat Islam umumnya percaya bahwa Abu Bakar melaksanakan perang itu karena suku-suku itu telah murtad dengan mengikuti Nabi Palsu atau karena menolak membayar zakat. Namun kedua jenis resistensi ini ditumpas dengan menggunakan kekuatan atas nama negara. Fase ini biasanya sangat dibanggakan oleh kalangan sunni sebagai prestasi terbesar Abu Bakar yang membuktikan keabsahan pemilihannya sebagai khalifah pertama. Setelah konsolidasi kekuasaan politik di seluruh semenanjung Arab tercapai, barulah ekspansi ke Kerajaan Byzantium dan Sasanid dimulai.

Saya tidak tertarik dengan pandangan dominan itu, ataupun untuk menilai apakah tindakan Abu bakar untuk menyulut perang itu salah atau benar. Saya malah tertarik untuk melihat makna atau signifikansi episode itu dalam membentuk watak negara pada saat itu. Keputusan Abu Bakar untuk memerangi suku-suku itu agar mereka taat pada otoritasnya sebagai khalifah diperlihatkan dalam pernyataannya mengenai zakat yang sangat terkenal: "aku bersumpah demi Tuhan, jika mereka menolak untuk memberikan meski hanya sekerat daging unta yang dulu pernah diberikan kepada Nabi, saya akan bertarung dengan mereka karenanya." Apa sebetulnya alasan sikap ini? mengapa tindakan ini diinterpretasi sebagai sebuah bukti bahwa dialah khalifah pengganti Rasulullah? Apakah cara keputusan untuk memerangi suku-suku Arab itu dibuat, alasan yang melatarbelakanginya, maupun peristiwa yang berkaitan dengan peristiwa itu mengindikasikan adanya model penyatuan antara kepemimpinan agama dan politik dalam Islam atau tidak? Jika ya, apa yang sejarah katakan pada kita tentang kesulitan dan kontradiski yang terdapat dalam pandangan semacam itu?

Sebagai contoh, pembedaan bisa dibuat antara dua kelompok besar yang diperangi oleh Abu Bakar yaitu mereka yang menolak untuk membayar zakat kepada Khalifah dan mereka yang mengabaikan Islam karena mengikuti Nabi Palsu. Bisa juga kita berargumen bahwa Abu Bakar menganggap penolakan untuk membayar zakat ke kas negara sama dengan murtad, sehingga pelakunya bisa dihukum mati. Namun, kita bisa juga melihat penolakan itu sebagai pemberontakan terhadap otoritas negara sebagai institusi politik yang keberadaannya bisa dijaga dengan kekuatan militer. Dengan mengatakan demikian, saya tidak bermaksud untuk bisa menyelesaikan kontroversi yang berlarut-larut, kompleks dan terus menimbulkan kemarahan bahkan hingga abad kedua dalam sejarah Islam ini. Saya hanya ingin merefleksikan implikasi kontroversi itu pada watak negara pada masa awal Islam tersebut, terlepas dari apa yang orang pikirkan tentang apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar. Sebagai contoh, saya ingin mengajukan pertanyaan: apakah usaha yang dilakukan Abu Bakar untuk menerapkan kewajiban zakat atau memerangi orang murtad merupakan caranya untuk memperlihatkan otoritas politiknya sebagai khalifah? apakah ia menjadi khalifah karena otoritas keagamaan yang dimilikinya di kalangan ummat Islam saat itu?

Beberapa pertanyaan menyangkut peristiwa itu masih tak terjawab sampai saat ini. Misalnya, apakah zakat itu dibayarkan secara sukarela pada masa Nabi dan apakah zakat itu diserahkan ke Madinah atau digunakan untuk kepentingan masyarakat lokal? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya sebagian dari pertanyaan yang terus dihindari oleh sejarawan. Ada satu bukti yang menunjukkan bahwa pada masa Nabi, zakat bukanlah persyaratan yang universal dan harus dipenuhi untuk menjadi seorang Muslim, dan bahwa Nabi menerima perpindahan seseorang dari agama lain tanpa syarat-syarat pembayaran. Disebutkan pula bahwa nisab zakat belum dikodifikasi hingga masa Khalifah Abu Bakar. Bukti yang ada menunjukkan bahwa Nabi tidak menggunakan kekerasan dalam mengumpulkan zakat.[3] Beberapa sahabat terkemuka seperti Umar dan Abu Ubaidah memperingatkan Abu Bakar supaya "menghapuskan pajak untuk tahun tersebut dan memperlakukan suku-suku yang loyal kepada Islam dengan lunak agar mereka memberikan dukungan kepadanya dalam melakukan tindakan terhadap mereka yang mengabaikan Islam".[4] Sahabat lain seperti Ali bahkan tidak berpartisipasi dalam kampanye tersebut. Adanya ketidaksepakatan sahabat terhadap masalah tersebut merupakan hal yang penting bagi kita untuk memahami dasar keputusan Abu Bakar dan implikasinya terhadap watak negara pada saat itu.

Hal kontroversial lain yang terjadi pada saat itu adalah keputusan Abu Bakar untuk menunjuk kalangan aristokrat Mekah sebagai komandan dalam perang riddah, padahal mereka baru masuk Islam setelah bertahun-tahun memusuhi dan menolak pesan-pesan kenabian.[5] Keputusan itu memperlihatkan sisi politis kampanye yang dilakukan Abu Bakar karena "penyerahan zakat bisa berarti tanda penyerahan otonomi kesukuan, penerimaan terhadap pajak resmi sekaligus pengakuan terhadap hak negara untuk memaksa pihak-pihak yang membangkang serta ketundukkan suku tersebut terhadap penguasa atau pemerintah.   Hal-hal tersebut, justru yang selama ini selalu ditentang oleh mereka.[6] Apreasiasi terhadap ketegangan dan ketakutan suku-suku Arab yang menghadapi transformasi drastis dalam lembaga dan hubungan sosial dan politiknya lah yang barangkali menyebabkan Nabi tidak pernah tertarik untuk menggunakan kekuatan. "Ketika pemimpin pemberontakan suku itu tertangkap kemudian dihadapkan kepada Bakar dan didakwa dengan vonis murtad, mereka membela diri dengan mengatakan bahwa dengan melakukan tindakan perlawanan itu mereka tidak bermaksud menjadi orang kafir, melainkan karena mereka tidak mau menyerahkan kekayaan mereka."[7]

Peristiwa lain yang menyebabkan kontroversi adalah perintah Abu Bakar terhadap Khalid bin al-Walid untuk membunuh Malik bin Nuwayra dari Bani Yarbu, suku Arab yang menjadi anggota federasi Bani Tamim. Perintah ini muncul karena Malik bin Nuwayra menolak untuk menyerahkan sejumlah unta yang pernah dia kumpulkan untuk diberikan sebagai zakat kaumnya kepada Nabi. Walaupun Malik menyatakan kesetiannya kembali kepada Islam, ia bersama-sama dengan anggota suku lainnya tetap dibunuh oleh Khalid. Khalid kemudian mengambil istri Malik dan nampaknya memperlakukannya sebagai "rampasan perang".[8]

Para sahabat terkemuka mengecam perbuatan Khalid. Bahkan Umar menuntut khalifah memecatnya dan Ali menetapkan hukuman had terhadapnya karena Khalid dianggap telah melakukan zina (dengan mengambil paksa istri Malik),[9] Namun Abu bakar sebagai Khalifah tidak mengabulkan kedua permintaan itu.[10] Tuntutan-tuntutan itu akan nampak tidak masuk akal jika kita memahami keputusan Abu Bakar sebagai bagian dari otoritas keagamaan yang dimilikinya dari Nabi karena para Sahabat terkemuka, tentu, tidak akan berselisih dengannya, karena mereka memahami bahwa keputusan Abu Bakar itu bersifat mengikat dan merupakan bagian dari ajaran Islam. Tetapi sebaliknya, walaupun para sahabat tidak sepakat dengan Abu Bakar, mereka tidak berbuat sekehendak hatinya untuk mewujudkan apa yang mereka anggap benar, mungkin karena mereka menghormati otoritas politik Abu Bakar sebagai khalifah. Ulama-ulama zaman berikutnya seperti al-Syafi'i, al-Khttabi, Ahmad bin Handal dan Ibnu Rajab menyikapi situasi itu secara berbeda-beda, baik dengan memberikan analisis tekstual terhadap hadits maupun sekedar berapologi.[11] Barulah kemudian pada masa-masa berikutnya Ibnu Arabi menjustifikasi keputusan Abu Bakar dengan memberikan alasan umum bahwa Abu Bakar memang harus melakukan hal tersebut. Karena jika tidak, suku-suku pemberontak itu akan mendapatkan kekuasaan dan terus memberontak. Penjelasan terakhir inilah yang kemudian menjadi pemahaman terhadap sejarah Islam yang paling populer di kalangan sunni.

Karena saya tidak bermaksud untuk menilai salah atau benarnya fakta sejarah tersebut, saya ingin kita melihat ketidakjelasan dan resiko penggunaan kekuasaan kursif negara untuk  mengimplementasikan pendapat seseorang tentang agama. Ketidakjelasan ini bisa diklarifikasi jika kita memahami isu tersebut dalam konteks peran Abu Bakar sebagai pemimpin politik dan bukan sebagai pemimpin agama. Cara pembacaan ini mungkin tidak konsisten dengan motivasi Abu bakar yang mungkin saja religius, karena ia percaya bahwa ia sedang mempertahankan Islam pada saat itu, dan bukan sekedar menjaga integritas negara sebagai institusi politik. Bahkan mungkin dia belum mengerti apa yang dimaksud negara dalam konteks pembicaraan kita. Di samping itu, kerelaan para sahabat untuk tunduk pada keputusan Abu Bakar meskipun mereka yakin bahwa keputusan itu keliru mungkin juga dimotivasi oleh oleh faktor-faktor politik, terutama kebutuhan untuk mengkonsolidasi dan mengamankan komunitas selama periode-periode kritis itu. Namun alasan religius juga bisa dikemukakan untuk memperkuat faktor-faktor tersebut seperti Qs, 4: 59 yang biasa digunakan untuk menuntut ketaatan ummat Islam terhadap Allah, Rasul-Nya dan penguasa. Dengan kata lain, seorang muslim memiliki kewajiban untuk menaati khalifah, walaupun ia berpikir bahwa khalifah itu keliru. Namun kemudian kewajiban ini bisa berbenturan dengan kewajiban muslim untuk menegakkan keadilan dan melawan kemunkaran (al-amr bil ma'ruf wa l-nahy an al-munkar). Dikatakan juga dalam sunnah bahwa tidak ada seorang manusia pun yang harus taat pada perintah untuk melakukan maksiat kepada Allah (la ta'ata li makhluq fi ma'siyat al-khaliq).

Dengan demikian, dengan justifikasi apapun, nampaknya memisahkan agama dari politik tetap merupakan hal yang sulit: ummat Islam akan selalu tidak sepakat dengan dua hal tersebut dan alasan-alasan keagamaan selalu berisi pertimbangan-pertimbangan politik dan sebaliknya. Terkait dengan perang terhadap orang-orang murtad, mungkin saja tindakan yang dilakukan Abu Bakar itu sah dalam pandangan Islam karena keputusannya berdasarkan alasan bahwa mereka sudah murtad atau memberontak terhadap negara. Kedua hal ini merupakan kejahatan besar (hadd al-haraba dalam Qs. 5:33-34) dan pelakunya layak mendapatkan hukuman mati. Apapun alasannya dan meskipun ada sejumlah keberatan dari para sahabat yang lain, Abu bakar tetap bisa menjalankan keputusannya karena ia seorang khalifah, tapi bukan karena ia memiliki keputusan yang benar atau tepat dalam kacamata Islam. Ini bukan berarti Abu Bakar benar atau salah, tapi karena tidak ada otoritas yang independen yang bisa menyelesaikan atau memediasi ketidaksepahamannya dengan sahabat lain. Dengan kata lain, jika saja Umar atau Ali yang menjadi khalifah tentu hasilnya akan sangat berbeda.

Kesimpulannya bagi kita adalah membedakan antara pandangan keagamaan Abu Bakar dengan keputusan dan tindakan politiknya sebagai khalifah mungkin bisa membnatu. Pembedaan ini pub bisa berguna dalam memahami beberapa sahabat besar yang tidak setuju dengan Abu Bakar karena mereka juga bisa memiliki alasan keagamaan dan politis. Pembedaan ini perlu dipertahankan tanpa melihat motivasi keagamaan Abu Bakar atau sahabat lain, karena tindakan seseorang tidak bisa ditentukan oleh motivasinya. Pembedaan seperti itu mungkin masih sulit diterapkan oleh ummat Islam untuk membaca sejarah periode Madinah karena, pada saat itu, sifat otoritas politiknya yang masih personal dan negara masih belum dianggap sebagai sebuah institusi politik. Kesulitan itu juga bisa karena berbagai faktor termasuk masih barunya contoh yang ditinggalkan Nabi, keterbatasan pendirian negara di daerah Arab pada saat itu dan cara keempat khalifah itu terpilih dan menjalankan kekuasaannya. Intinya, apapun pandangan terhadap peristiwa-peristiwa itu, ketidakjelasan seperti itu tidak bisa bisa dijustifikasi maupun diterima dalam konteks negara post kolonial model Eropa saat ini.

Ketidakjelasan otoritas politik dan agama seorang khalifah memang sudah tidak bisa lagi dipertahankan setelah pembunuhan Ali dan permulaan berdirinya negara Umayah. Walaupun Umayah berbentuk monarki, namun ia masih berusaha untuk mempertahankan kesan bahwa otoritas khalifah merupakan perpanjangan dari otoritas Nabi. Gelar-gelar yang dipakai oleh khalifah-khalifah dinasti Umayyah seperti khalifat allah, amin allah, na'ib allah menunjukkan besar dan agungnya otoritas keagamaan yang dimiliki khalifah.  Gelar-gelar tanda otoritas ini selalu diumumkan menjelang pelaksanaan khutbah jum'at di semua wilayah yang mereka kuasai. Namun, legitimasi keagamaan terhadap Muawiyah, pendiri dinasti ini, tidak hanya diperlemah oleh konfrontasinya dengan Ali yang berakhir dengan terbunuhnya keponakan Nabi itu, namun juga oleh upaya-upaya lunak dan keras yang dilakukannya untuk memuluskan pemilihan Yazid sebagai penerusnya, padahal Yazid tidak memiliki kualifikasi untuk menjadi khalifah. Karena Yazid menghadapi ancaman semakin tingginya tingkat pemberontakan dan kekacauan yang ditujukan untuk menggoyang otoritas dan legitimasinya sebagai penguasa muslim, ia pun terpaksa menggunakan kekerasan untuk menekan pihak-pihak yang membangkang. Sayangnya, tindakan ini malah semakin mengurangi kualifikasinya yang tidak bagus. Dalam upayanya menekan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi, ia memerintahkan untuk membunuh Husain bin Ali, cucu Nabi, keluarga dan kelompok pendukungnya di Karbala. Pada saat yang sama, sekitar tahun 681 M, Abdullah bin Zubair, cucu Abu Bakar dan anak seorang sahabat terkemuka lainnya, dan pendukungnya muncul dengan pemberontakan lain dan ia mengklaim dirinya sebagai khalifah di Mekah dan Madinah. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh tentara dinasti Umayah selama 10 tahun. Mekah dan Madinah, bahkan Ka'bah, hancur karena proses penumpasan itu. Krisis ini terus berlanjut selama delapan dekade pemerintahan dinasti Umayah dan setelahnya.[12] 

Paradoks permanen yang dihadapi oleh dinasti Umayah dan rezim sesudahnya adalah karena mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk mendapatkan legitimasi keagamaan dengan berusaha mereflikasi model pemerintahan Nabi atau pemerintahan Khulafa al-Rasyidun di Madinah. Ironisnya, masalah ini diperparah oleh keinginan penguasa untuk mengkonsolidasikan kekuatannya terhadap masyarakat, yang justru malah melemahkan legitimasi keagamaan yang mereka miliki. Revolusi Abbasiyah sukses menentang dinasti Umayah karena mereka menyatakan bahwa dinasti itu tidak memiliki legitimasi keagamaan dan mereka mengklaim bisa mendirikan sistem yang ideal bagi ummat Islam. Namun, jelas kemudian bahwa kekhalifahan sudah terlembagakan menjadi dinasti kerajaan yang penguasanya dipilih berdasarkan garis keturunan, yang tidak lebih merupakan adaptasi dari model monarkinya dinasti Sasanid dan Byzantium.[13]

Kerajaan-kerajaan Arab yang bermunculan, keberadaannya relatif tidak terlalu pelik, karena aparatur negara dan penerusnya biasanya mengadopsi struktur dinasti Sasanid dan Byzantium dan sering terus mempekerjakan pejabat yang sama dengan rezim yang sebelumnya. Untuk mempertahankan legitimasi keagamaannya, khalifah-khalifah dinasti Abbasiyah, terutama yang berkuasa pada periode-periode awal, sering memposisikan diri mereka sebagai kurator ilmu-ilmu agama dan menjadi partisipan dalam upaya interpretasinya.[14]   Ironisnya, mereka membuat atau memunculkan ekspektasi itu dengan mendasarkan klaim kekuasaan mereka pada hubungan kekerabatannya dengan Nabi, sehingga mereka dianggap layak untuk mempraktikkan kembali modelnya. Khalifah-khalifah periode awal dinasti Abbasiyah berusaha untuk mempertahankan kesatuan kepemimpinan agama dan politik dengan menunjuk hakim (qadi), menguasai lembaga dan ilmu agama, sekaligus memerankan diri sebagai pertahanan militer kerajaan Islam. Namun usaha-usaha untuk menegakkan model penyatuan antara otoritas politik dan negara menjadi tidak berguna, karena adanya beberapa peristiwa tragis yang kemudian dikenal sebagai mihnah.

Implikasi Mihnah terhadap Otoritas dan Institusi Politik dan Agama

Ketidaksesuaian antara cita ideal Islam untuk menyatukan kepemimpinan agama dan politik dengan realitas empiris sejarah ummat Islam mulai jelas, bahkan sebelum pemberontakan Khawarij dan Syi'ah. Masalah-masalah politik yang dihadapi oleh Khulafaurrasyidun di Madinah merupakan bukti yang jelas bahwa struktur ideal yang diperintahkan oleh Nabi tidak cocok untuk direplikasi. "Secara implisit, keberadaan para pemberontak merupakan tanda kemunculan kelompok ummat Islam yang memisahkan diri dari otoritas dan kepemimpinan khalifah."[15] Tumbuhnya sejumlah sekte seperti Qadiriyah, Murjiah, dan lainnya menentang mitos tentang kesatuan Islam. Apalagi, jika mempertimbangkan kemunculan peristiwa drastis yang lebih dikenal sebagai mihnah melalui perspektif sejarah sosial. Konflik antara otoritas khalifah dan ulama harus dilihat dalam konteks relasi sosial antara 3 kelompok yaitu: elite Bangsa Arab yang mewakili Istana Khalifah dan aparat administratifnya, para pemimpin agama, serta keturunan pemberontak Bangsa Khurasan yang mengawali kesuksesan revolusi Abbasiyah.

Penting juga untuk membedakan antara kekhalifahan ideal dengan realitasnya pada masa Abbasiyah. Ia merupakan sebuah pencampuran hibrid antara Kerajaan Timur Tengah (Sasanid dan Byzantium) Pra Islam dan universalisme Islam. Para khalifah berusaha untuk mengkombinasikan otoritas keagamaan sebagai penerus Nabi dengan bentuk kerajaan dan otoritas kelembagaan serta budaya ala Kerajaan Timur Tengah. Kecendrungan ini terlihat jelas dalam patronase dinasti Umayyah terhadap artistik, arsitektur dan perayaan ala Byzantium di Istana kerajaan" dan dalam proyek kerajaan yang lain, serta gaya ekspansi mereka yang kasar. Sementara itu, dinasti Abasiyyah meniru model Persia dengan berpatron pada khazanah literature dinasti Pahlavi dan filsafat Hellenistik."[16] Sebagai respon, para ulama periode awal menunjukkan adanya keterputusan antara cita ideal dan realitas, dan meragukan klaim otoritas para khalifah untuk menginterpretasikan atau mengelaborasi syariah. Klaim ini merefleksikan fakta bahwa ulama memiliki pengaruh yang lebih besar di kalangan ummat Islam daripada para khalifah. "Dengan demikian, independensi otoritas keagamaan dari kekuasaan khalifah berkembang bersamaan dengan munculnya kelompok-kelompok sektarian dalam ummat Islam. Dari sudut pandang komunal keagamaan, kekhalifahan dan Islam tidak lagi terintegrasikan."[17] Kemunculan otoritas keagamaan yang independen dari khalifah dan aparat negara inilah, yang disebut Lapidus sebagai pembedaan antara otoritas politik dan agama dalam sejarah masyarakat Islam.

Apa yang disebut mihnah adalah inkuisisi teologis yang bertujuan untuk membuat anggota kelompok ulama, yang pada saat itu merupakan sebuah kelompok yang bersatu tanpa tujuan tertentu, menyetujui sikap yang diambil oleh kalangan Mu'tazilah bahwa al-Qur'an adalah ciptaan Allah dan dengan demikian ia adalah atribut dan bukan kata-kata yang tidak diciptakan oleh-Nya. Isu ini merupakan bagian dari debat yang berkelanjutan antara kelompok yang lebih menyukai pendekatan yang lebih alegoris dan rasional terhadap sumber-sumber Islam (Mu'tazilah) dengan kelompok lain (ahl-alhadits dan Asy'ariah) yang menganut pendekatan tekstual terhadap teks. Dalam konteks itulah, Khalifah al-Ma'mun melaksanakan inkuisisi pada tahun 833 M (218 H) untuk memaksa ulama tertentu agar mengadopasi pandangan mu'tazilah. Walaupun setelah al-Ma'mun wafat, inkuisisi masih berlanjut hingga masa tiga khalifah setelahnya selama 16 tahun. Khalifah al-Mutawakkil mengakhiri hukuman itu dengan melepaskan para ulama yang tidak tunduk pada kebijakan khalifah sebelumnya dari penjara dan menempatkan beberapa orang diantaranya dalam pemerintahannya.

Al-Ma'mun berkuasa setelah memenangkan perang sipil dengan saudaranya al-Amin. Baik al-Ma'mun maupun al-Amin merupakan anak dari Khalifah Harun al-Rasyid. Secara mengejutkan, al-Ma'mun menunjuk Imam al-Rida, Imam kedelapan dalam rangkaian imamah syi'ah dua belas, sebagai penggantinya. Ini merupakan upayanya untuk menenangkan pemberontakan Syi'ah yang terus berlanjut pada saat itu, atau untuk mengembalikan kekhalifahan pada formulasi orisinalnya sebagai lembaga keagamaan dan politik. Ia juga mengadopsi warna hijau Syi'ah untuk atribut pasukannya. Namun dua keputusan itu dibatalkan segera setelah al-Rida wafat secara misterius. Saat al-Ma'mun kembali ke Baghdad yang saat itu sedang dilanda kekacauan, ia berusaha untuk memaksakan teologi tertentu kepada masyarakat, yang akhirnya bukan menambah kekuatannya, malah membuat habis otoritas kekhalifahahannya. Kekacauan parah yang terjadi di Baghdad diakibatkan oleh adanya kompetisi sejumlah kelompok untuk mendapatkan kekuasaan dan juga tentara yang marah dan tidak  puas. Situasi ini diperparah dengan adanya geng kriminal dan penjahat. Kekacauan ini berakhir dengan munculnya sejumlah gerakan yang semakin mengukuhkan fakta bahwa penyatuan kepemimpinan agama dan politik tidak lagi relevan untuk dipraktikkan.

Sebagai contoh, Sahl bin Salama al-Ansari, penduduk Baghdad "yang memakai  salinan al-Qur'an di lehernya dan menyeru orang-orang untuk melakukan 'amar ma'ruf nahyi munkar', berhasil menarik sejumlah pengikut dari seluruh penjuru kota  yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Ia juga menyeru pengikutnya untuk tidak hanya mempertahankan lingkungannya dengan menyediakan keamanan dan stabilitas bagi tempat tinggal mereka, namun juga mengimplementasikan ajaran al-Qur'an dan Sunnah yang dibawa oleh Nabi. Sahl menggambarkan kepatuhan pada prinsip yang lebih tinggi yang memberikan justifikasi untuk melawan khalifah dan otoritas negara yang gagal untuk menegakkan Islam. Ia menyeru bahwa kepatuhan kepada al-Qur'an dan Sunnah harus mengalahkan ketaatan kepada otoritas yang gagal menegakkan Islam."[18] Ia mengadopsi slogan 'tidak ada ketaatan kepada makhluk bila untuk melakukan ma'siat kepada Allah' (la ta'ata li makhluq fi ma'siat al-khaliq). Pengikutnya di berbagai penjuru kota membangun menara di depan rumah mereka yang berfungsi membentengi mereka dalam kota."[19] Dengan demikian, organisasi berbasis komunitas yang dibangun Sahl mewakili kemunculan spontan sebuah pemerintahan bersifat keagamaan yang militan dan menolak otoritas khalifah secara terbuka.




[1] Ira M. Lapidus, “State and Religion in Islamic Socieites,” Past and Present, No. 151 (May, 1996), p. 4.
[2] Untuk review terhadap sejarah masa awal yang otoritatif dan mengutip sumber-sumber Arab lihat Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1, The Classical Age of Islam, Chicago: University of Chicago Press 1974, pp. 187-230;  Wilfred Madelung, The Succession of Muhammad: A Study of the early Caliphate, Cambridge: Cambridge University Press, 1997; and Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 2nd edition, Cambridge: Cambridge University Press 2002.
[3] Madelung, The Succession to Muhammad, 46- 47.
[4] Madelung, The Succession to Muhammad, 48, note 55.
[5] Fred M. Donner, The Early Islamic Conquests, Princeton: Princeton University Press, 1981, 86-87
[6] Madelung, The Succession to Muhammad,  47.
[7] M. J. Kister, “…illa bi-haqqihiJerusalem Studies in Arabic and Islam, no. 8, pp. 61-96, 1986, p. 35, n. 8 mengutip al-Shafi’i “…wa-qalu li-abi bakrin ba’da l-isari: ma kafarna ba’da imanina wa-lakin shahana ‘ala amwalina…”
[8] Untuk beberapa versi kisah ini, lihat EI (Encyclopedia of Islam): Malik b. Nuwayra and Khalid b. Walid.
[9] Madelung, Succession to Muhammad, 50, Catatan Kaki 60, mengatakan bahwa penyebutan Malik b. Nuwayra sebagai pengikut nabi palsu dari Najd, Sajah, adalah rekayasa. Ia juga mencatat bahwa Umar pasti tindakan menyatakan keberatan atas perilaku Khalid, jika ia menganggap Malik sudah murtad.
[10] Syed H.M. Jafri, The Origins and Early Development of Shi’a Islam, Oxford: University Press, 2000, 58-79.
[11] Kister, “…illa bi-haqqihi”, 36-37.
[12] P. Crone and M. Hinds, God’s Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam, London: Cambridge University Press, 1986. 12.
[13] Lapidus, A History of Islamic Societies, 58-66.
[14] Muhammad Qasim Zaman, Religion and Politics under the Early ‘Abbasids: The Emergence of the Proto-Sunni Elite, Leiden: Brill, 1997, 129-166.
[15] Ira Lapidus, “The Separation of State and Religion in the Development of Early Islamic Society”, International Journal of Middle East Studies, vol. 6, 1975, 366.
[16] Lapidus, “State and Religion”, 9-10.
[17] Lapidus, “The Separation” 369.
[18] Lapidus, “The Separation”, p. 372.
[19] Lapidus, “The Separation”, p 373.

Tidak ada komentar: